Lihat ke Halaman Asli

Menanti Kelahiran Anak Kedua : BBM Nggak Naik Kan?

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Galang rambu anarki anakku, lahir awal januari menjelang pemilu

Galang rambu anarki dengarlah, terompet tahun baru menyambutmu

Galang rambu anarki ingatlah,

Tangisan pertamamu ditandai BBM melambung tinggi

(Galang Rambu Anarki-Iwan Fals)

Mungkin teman-teman bingung apa hubungannya kelahiran anak dengan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Begini ceritanya (jadi kayak presenter acara kisah misteri jaman dulu di salah satu TV swasta) :

[caption id="attachment_62707" align="alignleft" width="240" caption="marchiano aulia faraitody"][/caption]

Anak pertama kami, Marchiano Aulia Faraitody, kami biasa memanggilnya Archie, lahir pada tanggal 5 Maret 2005. Tangisan pertama calon pejuang ini bertepatan dengan dengan diumumkannya Harga BBM oleh Pemerintahan SBY pasca kemenangan pada Pemilu tahun 2004. Ini pertama kalinya Rezim SBY menaikan BBM.

Kebijakan tak populer ini nekad diambil pemerintah dengan alasan, Pertama, kenaikan harga BBM dalam rangka mengurangi defisit APBN sebesar Rp 72 trilun per tahun yang selama ini diperuntukkan untuk mensubsidi BBM. Yakni, subsidi yang bagi pemerintah dianggap menguntungkan kelompok masyarakat menengah ke atas serta menyebabkan ketergantungan rakyat atas proteksi pemerintah. Kedua, bagi pemerintah penghapusan subsidi BBM secara bertahap dan kebijakan menaikkan harga BBM tahun 2004-2005 hingga mencapai 75% merupakan langkah strategis untuk menyelamatkan kondisi Pertamina dari kebangkrutan akibat naiknya harga dasar minyak dunia. Ketiga, kebijakan kenaikan harga BBM akan diimbangi dengan crash program pemberian kompensasi berupa dana bantuan pengganti biaya kenaikan BBM bagi rakyat miskin, dalam bentuk beasiswa pendidikan, voucher pengobatan murah, dan sebagainya. Namun argumentasipemerintah yang didukung oleh kalangan praktisi atau teoritisi ekonomi yang memiliki paradigma neoliberal, tetap saja tidak menggemingkan tekad, nurani berbagai komponen masyarakat dan mahasiswa untuk terus menggelar aksi unjuk rasa dan berbagai bentuk protes sosial, dengan dasar argumentasi yang beragam. Ada yang berargumen bahwa kebijakan kenaikan harga BBM dipandang tidak peka dengan situasi di mana rakyat kebanyakan masih berada dalam garis kemiskinan. Kenaikan BBM tidak tepat karena akan ber-multiplier effeck pada kenaikan harga bahan pokok, serta kenaikan BBM dianggap sebagai akibat kebangkrutan Pertamina karena banyaknya praktik korupsi yang membuat in-efesiensi dan menguras aset keuangan perusahaan minyak nasional itu. Padahal Pertamina, selama 3 dekade cukup meraih keuntungan besar dari ekspor minyak ke luar negeri. Namun keuntungannya diduga dipakai oleh elite politik "masa lalu" sebagai modal mendirikan kongsi bisnis raksasa.

Belum genap satu tahun usia jagoan kami, yakni bulan oktober 2005, Pemerintahan SBY kembali menaikan harga BBM dengan alasan naiknya harga minyak di pasaran dunia. Padahal naiknya harga minyak dan gas dunia memang meningkatkan jumlah subsidi BBM. Tapi, juga meningkatkan pendapatan ekspor Indonesia dari sektor minyak dan gas. Artinya: naiknya pengeluaran untuk subsidi diimbangi oleh naiknya pendapatan ekspor migas. Anggaran akan aman karenanya. Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro (sekarang Menhan) mengatakan, pendapatan ekspor migas kita akan meningkat bersama naiknya harga minyak di pasaran internasional. Kenaikan harga BBM internasional sebenarnya merupakan rezeki nomplok untuk Indonesia karena dengan itu Indonesia mendapat keuntungan. Contoh seperti Mei 2004 ketika harga BBM naik menjadi 41 dollar AS/barel, pemerintah mendapatkan peningkatan keuntungan 21,5 trilyun. Kenaikan tersebut juga memang menaikkan subsidi yang harus ditanggung pemerintah menjadi sekitar 15,5 trilyun. Dengan demikian, sebenarnya pemerintah masih untung 6 trilyun. Namun pemerintah menganggap selisih keuntungan yang harusnya lebih besar dianggap sebagai kerugian (Revrisond Baswir, Pengamat ekonomi).

Alasan sebenarnya adalah kenaikan BBM merupakan tekanan dari IMF untuk mencabut subsidi BBM dan sekaligus prakondisi liberalisasi ekonomi Indonesia dalam sektor migas. Sedang terjadi usaha-usaha penjajahan ekonomi gaya baru terhadap negeri kita. Kapitalisme sedang mengancam ekonomi negeri Indonesia tercinta yang seharusnya menganut ekonomi kerakyatan.

Buah hati kami yang pertama hampir lima tahun menghirup udara di bumi Indonesia ini, dan sudah mengalami beberapa kali kenaikan harga BBM serta “tiga kali” mengalami penurunan harga BBM menjelang Pemilu 2009 yang diklaim sebagai sebuah keberhasilan dan menjadi bahan dagangan pada masa kampanye.

Sekarang kami sedang menanti kelahiran anak kedua, yang menurut hasil USG adalah seorang bidadari alias perempuan, dengan kondisi sosial politik yang hampir sama seperti lima tahun lalu, walaupun sedikit agak beda. Pemerintah sekarang disibukkan dengan Bank Century (apa kabar Panitia Hak Angket?) dan para Mafia Hukum yang makin jelas wujudnya, (dulu banyak mafia hukum tapi sulit sekali melihat sosoknya).

Semoga bidadari kamiini tidak seperti kakaknya yang ketika hadir di bumi disambut oleh harga BBM yang melambung tinggi.

Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline