Lihat ke Halaman Asli

Smartphonisasi Agama di Era Metaverse

Diperbarui: 28 Juni 2023   12:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di era sekarang teknologi sudah semakin maju, ditambah saat masa pandemi dominasi kegiatan menggunakan teknologi, menjadikan smartphone adalah hal penting yang harus dimiliki oleh semua kalangan. Melalui smartphone kita bisa mengakses apapun, kapanpun, dan dimanapun dengan mudah. Dari kemudahan tersebut bukan berarti selalu berdampak positif dan bermanfaat bagi penggunanya, ada juga oknum yang menyalahkan penggunaan smartphone demi kepentingan pribadinya atau hanya mencari sensasi semata. Sebagai pengguna smartphone harus bijaksana dalam menggunakan dan mengelola informasi apapun yang diterima, dan memaksimalkan kecanggihan teknologi untuk hal bermanfaat.

Di era sekarang smartphone digunakan oleh semua generasi, mulai dari generasi baby boomer sampai generasi alpha. Generasi baby boomer adalah generasi yang lahir antara tahun 1946-1964 atau kisaran umur 76-58 tahun, lalu ada generasi X adalah generasi yang lahir antara tahun 1965-1976 atau kisaran umur 57-46, lalu ada generasi Y atau biasa disebut Milenial yang lahir antara tahun 1977-1995 atau kisaran tahun 45-27, lalu ada generasi Z yang lahir antara tahun 1996-2010 atau kisaran umur 26-12, lalu ada generasi alpha yang lahir antara tahun 2010-sekarang atau kisaran umur 11 kebawah.  Namun dari banyak nya generasi tersebut, diambil generasi Z yang juga salah satu pengguna smartphone paling lama setiap harinya, menilai apakah smartphone ditangan generasi Z memberikan lebih banyak manfaat atau malah sebaliknya.  

- Etnografi Virtual
Dalam konteks ini, merujuk pada etnografi virtual yang dipopulerkan oleh Hine (2000: 63-65) :
1) Keberadaan peneliti di lapangan virtual  
Peneliti atau etnografer mesti memahami persoalan lapangan atau lokasi penelitian.  

2) Medium interaksi secara virtual  
 Etnografer harus mengetahui sekaligus mampu mempraktikkan bagaimana komunikasi itu terjadi di internet.

3) Medium komunikasi yang berkembang  
 Etnografi virtual mempertanyakan asumsi yang sudah berlaku secara umum tentang internet. 

4) Memahami lokasi dan koneksitas antar pengguna  
Internet adalah tempat yang interaktif dan selalu bergerak sehingga lebih tepat dalam pendekatan etnografi virtual untuk melihat dalam bagaimana tempat virtual di internet itu dibuat dan dibuat kembali.

5) Memberikan batasan  
 Bukan berarti etnografi virtual tidak memerlukan batasan-batasan, namun batasan yang dimaksud disini tidak sekadar apa yang dipahami sebagai batasan dalam pengertian lokasi atau wilayah (lihat Burrell, 2009: 184-186).  

6) Situasi sementara  
 Etnografi virtual berkaitan dengan dislokasi, baik ruang maupun waktu.

7) Menangkap artefak budaya yang parsial  
Penggunaannya lebih sebagai strategi yang relevan dalam memetakan budaya dibanding untuk sepenuhnya merepresentasikan realitas objek secara utuh.  

8) Keterlibatan penuh dalam interaksi termediasi  
Pada konteks ini, peneliti harus memahami perangkat teknologi yang digunakan oleh entitas dalam berinteraksi di komunitas (lihat Charter; Gatson & Zweerink, 2011 dalam Nasrullah, 2018).  

9) Komunikasi virtual dan kehadiran entitas  
Etnografer maupun informan (penelitian) harus dirasakan kehadiran antar keduanya (subjek penelitian).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline