Ribut-ribut soal anjuran dan pituah (dari petuah, mengadopsi plesetan gaya maestro pelawak Asmuni yang melafalkan kata "menantu" dengan "minantu") mengingatkan saya saat pergi haji dulu.
Saya setengah yakin tidak banyak umat muslim, meski sudah pergi ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji, yang mengetahui apa yang ada di ddalam Hijir Ismail, sebuah pasangan batu setinggi 50-an sentimeter berbentuk setengah lingkaran yang menempati salah satu sisi bangunan ka'bah.
Ketika melaksanakan ibadah tawaf berputar mengelilingi ka'bah sebanyak tujuh kali ke arah berlawanan dengan jarum jam, maka akan selalu melewati Hijir Ismail yang posisinya akan selalu berada di sebelah kiri dari pelaksana tawaf.
Menjelang keberangkatan saya bersama istri ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji pada tahun 1997 lalu, saya tertarik dan membekali diri mengenai wawasan ibadah haji dengan membaca buku karya tulis Dr Syariati, cendekiawan muslim asal Iran, yang berjudul Haji. Secara garis besar isi buku tersebut merupakan kesan penulis sekaligus memberikan semacam pedoman bagaimana seharusnya sikap batin selama pelaksaan dan memaknai serta menghayati ibadah haji.
Menurutnya, ibadah haji lebih merupakan perjalanan napak tilas yang harus direnungkan sejarahnya dan diresapi maknanya secara mendalam.
Namun dari uraian buku tersebut salah satu yang paling menarik sekaligus mengejutkan --karena selama tujuh tahun lebih saya belajar agama Islam (1957) hingga membaca buku tersebut (1997) belum pernah mendengar -- diceritakan bahwa Hijir Ismail tersebut ternyata merupakan makam salah seorang istri Nabi Muhammad saw bernama Hindun, seorang janda tua yang kemudian mendapat julukan "Ummul Mukminin".
Cerita tersebut ada hubungannya dengan topik yang sedang hangat dibicarakan, yakni anjuran dan petuah agar lelaki kaya menikahi perempuan miskin dalam rangka untuk ikut menanggulangi masalah kemiskinan. Tetapi sebelum ke sana, ada baiknya dilanjutkan sedikit soal istri Nabi saw "pendamping rumah Allah" tersebut dari perspektif Dr Syariati.
Katanya, kalau manusia berkuasa pasti memperlihatkan kekuasaanya dengan cara mempertontonkan segala macam dan bentuk atribut kebesarannya.
Tetapi Tuhan sebaliknya, Ia menunjukkan ke-Maha Kuasaan-Nya justru dengan memperlihatkan bangunan ka'bah yang bersahaja terbuat dari batu biasa sebagai rumahNya.
Dan ini yang membuat jiwa tertunduk malu bahwa yang mendampingi bangunan ka'bah yang sederhana tersebut hanyalah seorang perempuan janda jauh dari kata rupawan --menurut versi Syariati merupakan perempuan berkulit hitam bekas budak hamba sahaya dari Abesinia-- sebagaimana layaknya raja yang berkuasa.
Simak juga: Tuhan Tidak Malu