Menulis dan di-publish, sebuah pasangan kata simbiosis mutualistis, dapat disebut atau dikategorikan sebagai kegiatan atau perbuatan memberi nasihat, sejauh menasihati dimaknai dan didefinisikan sebagai memberikan informasi dan pembelajaran yang baik. Kegiatan bidang apapun termasuk menulis ditinjau dari latar belakang, motif, niat dan tujuan dapat dikelompokkan menjadi tiga.
Pertama, motif dan tujuan yang bersifat spiritual dan sakral. Kedua, motif dan tujuan yang bersifat profan dan sekuler. Ketiga, dua-duanya. Dan sesuai dengan sifat dan kecenderungan manusia biasanya akan bersikap "kalau bisa dua, kenapa satu?"
Dalam makna spiritual dan sakral perbuatan memberi nasihat (dalam era digital ini disebut sharing) sesungguhnya merupakan pesan profetik sekaligus perintah yang harus dijalankan oleh setiap orang, tak ubahnya seperti kegiatan dakwah yang merupakan kewajiban bagi setiap muslim.
Sebagai layaknya juru dakwah spiritnya sangat damai dan sejuk, yakni "diterima syukur, tidak diterima, kewajiban (menyampaikan) sudah dilaksanakan". Apalagi jika mengingat prinsip bahwa secara psikologis dan metodologis, nasihat yang efektif adalah nasihat yang diminta. Dengan kata lain, nasihat yang tidak diminta biasanya cenderung tidak atau kurang dihargai, sehingga akibatnya kurang diperhatikan, alih-alih disyukuri.
Tak ubahnya orang yang menderita sakit datang ke dokter untuk berobat. Psikologi demikian juga dapat terjadi antara anak dengan orang tua. Oleh karenanya, agama dan filsafat etika senantiasa mengingatkan kepada anak agar pandai bersyukur kepada kedua orang tuanya, meskipun anak tidak pernah meminta untuk dilahirkan.
Lain halnya khususnya dalam dunia publikasi, oleh sebab tidak terpenuhi unsur "menarik dan perlu" sebagaimana dikatakan sebuah slogan, seperti dalam pembuatan judul, kualitas konten, atau faktor teknis lainnya, lalu kurang mendapat atensi dan apresiasi, maka hal tersebut merupakan risiko yang harus diterima dengan lapang dada.
Hal tersebut agaknya sejalan dengan anjuran yang seringkali disampaikan oleh para motivator tentang etika pergaulan bahwa orang bijak bagaikan sebuah gelas kosong. Ia tampil sebagai pribadi yang tidak mengetahui, tetapi tahu jawabannya ketika ditanya. Sikap demikian senafas dengan kiasan klasik dengan ungkapan "ilmu padi", yang artinya semakin berilmu seseorang semakin merunduk atau merendah.
Dalam perspektif dan semangat demikian menulis menjadi sebuah pekerjaan yang dilematis. Namun demikian tak tertutup kemungkian ada pula kegiatan menulis karena lebih didasarkan pada atau berkiblat semata-mata pada motif dan tujuan yang bersifat profan dan sekuler, yang tentu juga banyak ragamnya,seperti misalnya ekonomi dan bisnis, popularitas, perluasan jaringan, kekuasaan, sekadar ekspresi diri atau hobi, atau lainnya.
Dan itu sah-sah saja. Dalam idiom agama dikatakan bahwa segala perbuatan itu tergantung pada niatnya. Perbuatan yang secara lahiriah tampak sama, tetapi memiliki dampak yang berbeda karena niat yang berbeda. Baik pada diri si pelaku maupun pihak lain yang menjadi target atau terdampak dari perlakuan atau tindakan itu.
Dalam kesempatan lain seorang jurnalis dan penulis senior yang sempat meringkuk dalam penjara karena kasus penistaan agama pada masa Orde Baru dulu, mendiang Arswendo Atmowiloto, sepulang dari penjara menerbitkan buku berjudul "Menulis Itu Gampang".
Pastinya banyaklah yang membeli, karena bukunya diterbitkan dan dipasarkan melalui sebuah penerbit dan toko buku terkemuka di Indonesia, termasuk "sing mbahu rekso" (Jawa) media yang sedang digunakan saat ini mungkin ada benarnya. Buktinya, di media ini saja hampir tiap detik sebuah artikel dipublikasikan..