Lihat ke Halaman Asli

Rudy

nalar sehat N mawas diri jadi kata kunci

Dilema Menulis vs Gampang Menulis

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menulis dan di-publish dapat disebut atau dikategorikan sebagai kegiatan atau perbuatan memberi nasihat, sejauh menasihati dimaknai dan didefinisikan sebagai memberi ajaran atau pelajaran baik. Kegiatan bidang apapun termasuk menulis ditinjau dari perspektif penulis, disadari atau tidak disadari, sebenarnya tak lepas dari berbagai macam latar belakang motif, niat dan tujuan. Tetapi secara garis besar hal itu dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, motif dan tujuan yang bersifat spiritual, sakral. Kedua, motif dan tujuan yang bersifat profan, sekuler. Ketiga, kedua-duanya.

Dalam makna spiritual dan sakral perbuatan memberi nasihat (dalam bahasa pergaulan puler dengan sebutan sharing) sesungguhnya adalah merupakan pesan profetik sekaligus perintah yang harus dijalankan oleh setiap orang, tak ubahnya seperti kegiatan dakwah yang merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Sebagai layaknya juru dakwah –diterima orang syukur, tak diterima orang, kewajiban telah dilaksanakan. Hanya saja, kenyataan lain menunjukkan bahwa secara psikologis dan metodologis, nasihat yang efektif adalah nasihat yang diminta. Atau dengan kata lain, nasihat yang tidak diminta biasanya cenderung tidak atau kurang dihargai, sehingga akibatnya kurang diperhatikan, alih-alih disyukuri. Belum lagi bila materinya tidak berkaitan langsung dengan kepentingan penerima nasihat. Tak usah heran dan kecewa bila kemudian nasihat atau tulisan itu akan sia-sia alias mubazir. Karena alasan dan kecenderungan itulah mengapa kemudian agama dan etika perlu mengingatkan anak, yang memang tak pernah minta dilahirkan, agar bersyukur kepada kedua orang tuanya. Lain halnya kalau keadaan tersebut timbul disebabkan karena tidak atau kurangnya daya tarik (memenuhi unsur eye catching), seperti dalam pembuatan judul, kualitas substansi tulisan, atau faktor teknis lainnya. Hal ini agaknya sejalan dengan anjuran yang seringkali disampaikan oleh para motivator tentang etika pergaulan bahwa orang bijak bagaikan sebuah gelas kosong. Ia tampil sebagai pribadi yang tidak mengetahui, tetapi tahu jawabannya ketika ditanya. Sikap demikian bisa juga senafas dengan kiasan klasik dengan ungkapan “ilmu padi”, yang artinya semakin berilmu seseorang semakin merunduk atau merendah. Dalam perspektif dan semangat demikian menulis menjadi sebuah pekerjaan yang dilematis.

Namun demikian tak tertutup kemungkian ada pula kegiatan menulis karena lebih didasarkan pada atau berkiblat semata-mata pada motif dan tujuan yang bersifat profan dan sekuler, yang tentu juga banyak ragamnya,seperti misalnya ekonomi dan bisnis, popularitas, perluasan jaringan, kekuasaan, sekadar ekspresi diri atau hobi, atau lainnya. Dan itu sah-sah saja. Dalam idiom agama dikatakan bahwa segala perbuatan itu tergantung pada niatnya. Perbuatan yang secara lahiriah tampak sama, tetapi memiliki dampak yang berbeda karena niat yang berbeda. Baik pada diri si pelaku maupun pihak lain yang menjadi target atau terdampak dari perlakuan atau tindakan itu. Seperti dalam era politik pencitraan dewasa ini misalnya, banyak pihak mengatakan dan merasakan bahwa penyelenggaraan negara dikelola secara “seolah-olah”. Sehingga bahan bakar elpiji dikelola seolah-olah demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Virus “seolah-olah” itu menyebar luas sampai ke segala penjuru tanah air. Benar saja kalau kemudian dalam kelakar muncul sebutan negeri tercinta sebagai “Republik Seolah-olah”. Lagi-lagi dan tak lain karena soal niat tadi. Niat mempunyai korelasi langsung dengan keikhlasan, sebuah nilai spiritual yang berdimensi sakral. Pada tingkat ini lalu berlaku sebuah adagium atau malah semacam hukum alam (sunnatullah) yang menentukan bahwa siapa mendapat apa tergantung pada apa atau bagaimana niatnya. Sehingga muncul peribahasa kreasi baru “siapa menabur angin, menuai badai”. Menyadari akan kebenaran hukum itu, setelah menjadi orang biasa dan dihujani hujatan di hari tuanya dari sebelumnya sebagai penguasa otoriter selama lebih dari tiga dasawarsa, Presiden RI ke-2 Soeharto pernahberujar bahwa orang besar melakukan kesalahan besar.

Dalam kesempatan lain seorang jurnalis dan penulis senior yang sempat meringkuk dalam penjara karena kasus penistaan agama pada masa Orde Baru dulu, sepulang dari penjara menerbitkan buku berjudul “Menulis Itu Gampang”. Pastinya banyaklah yang membeli, karena bukunya diterbitkan dan dipasarkan melalui sebuah penerbit dan toko buku terkemuka di Indonesia. Namun jika disimak hampir setiap detik sedikitnya satu artikel yang di-publish oleh kompasianer dan tak sedikit yang “menarik dan perlu”--belum lagi di media lain yang tentu saja bukan main atau tak terhitung banyaknya--, mungkin dapat menjadi bukti autentik bahwa memang menulis itu gampang. Sebahagian mengatakan bisa menulis dengan cara belajar sendiri (autodidak) dan rajin berlatih, bahkan memulai sejak masih duduk di bangku SMP. Menulis gampang berbeda dengan gampang menulis seperti yang digunakan dalam judul tulisan ini. Gampang menulis bisa berarti apa saja ditulis atau kerapkali menulis. Seperti makna pada ungkapan gampang sakit. Mengikuti gaya humor pelawak di program acara Democrazy di salah satu stasiun televisi swasta beberapa tahun lalu mungkin “lebih kena” atau pas dengan ungkapan khasnya: “Sedikit-sedikit menulis. Menulis kok sedikit?!..”. Bagi penulis yang produktif, agaknya perlu sesekali melakukan refleksi dan kontemplasi, untuk kemudian meluruskan dan merumuskan kembali niat, motivasi, dan tujuan menulis, sambil senantiasa menyimak dan memahami semua realitas dan perubahan. Apalagi jika menyimak kenyataan bahwa untuk sebagian kalangan menulis itu bukan perkara mudah. Sebagaimana yang diamati oleh salah seorang kompasianer beberapa waktu lalu yang mengungkapkan bahwa tak sedikit orang dengan latar pendidikan pascasarjana, alih-alih menunjukkan kualitas performa justeru tak satu pun tulisan lepas apalagi berbentuk buku yang dihasilkan dari tangannya, baik karena alasan kemampuan, kemauan, kesempatan, atau siapa tahu--dilema. Pengamatan dan pernyataan itu boleh jadi ada benarnya, sehingga daftar nama itu akan kian bertambah panjang jika setiap orang menemukan hal yang sama di lingkungannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline