Lihat ke Halaman Asli

Rudy

nalar sehat N mawas diri jadi kata kunci

Suara Rakyat vs Suara “Syahwat”

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1412822879379359537

Drama di panggung politik nasional yang berlangsung cukup menegangkan dan melelahkan di Parlemen baru saja usai. Dengan hasil akhir dan “skor” telak kemenangan di kubu KMP yang menguasai dan mendominasi seluruh jajaran pimpinan kedua lembaga legislatif tersebut. Meski diakui banyak kalangan bahwa proses pemilihan pimpinan MPR telah dilakukan secara demokratis dan konon “civilized” itu, namun aroma syahwat kekuasaan tak dapat ditutup-tutupi merebak dan tercium juga di antara para wakil rakyat itu.

Mencermati perkembangan politik yang terjadi, setidaknya masih ada satu aspek positif yang dapat memberikan secercah harapan atau optimisme bahwa sistem demokrasi masih dipandang sebagai satu-satunya jalan berbangsa dan bernegara untuk menuju Indonesia sejahtera berkeadilan. Kendati kemudian muncul kekecewaan berat di kalangan masyarakat luas ketika mendapati kenyataan bahwa kubu KMP secara sepihak telah merampas dan merenggut hak konstitusional dan kedaulatan rakyat melalui pengesahan UU Pilkada. Dengan paket UU MD3 yang merupakan “palu godam” dan telah lebih dahulu disahkan sepertinya kian memuluskan ambisi kekuasaan KMP untuk membalikkan arah sistem ketatanegaraan agar rakyat “kembali ke barak” dan cukup “duduk manis” menjadi penonton di pinggir arena seperti pada zaman Orde Baru. UU Pilkada tersebut dinilai merupakan keputusan para wakil rakyat secara sepihak dengan mengacu pada hasil survei yang layak dipercaya yang menunjukkan bahwa mayoritas (80%) rakyat (masih) menghendaki sistem pemilihan (kepala daerah) secara langsung. Sementara menurut logika matematis, apabila dalam Pilpres yang lalu secara persentase menunjukkan perbandingan 53:47 antara pendukung pasangan Jokowi-Jk dan Prabowo-Hatta, maka respons mayarakat terhadap diberlakukannya UU Pilkada seharusnya tercermin secara proporsional. Namun yang terjadi kemudian tak kurang dari 50% pendukung Prabowo-Hatta menolak keputusan yang diambil para wakil pilihan mereka sendiri. Dengan kata lain dalam hal tersebut mereka justru sefaham dengan kelompok pendukung Jokowi-Jk. Kalau para wakil rakyat itu acapkali berkilah dengan pertanyaan “rakyat yang mana?”, fakta dan logika matematis seperti ini bisa menjadi jawabannya. Pertanyaannya adalah apa yang sesungguhnya menjadi aspirasi atau harapan dan pertimbangan mereka para pemilih dan pendukung KMP? Pertanyaan berikutnya, inikah bentuk dan wujud dari “ketidakmampuan” atau “kebelumsiapan” (kebodohan?) rakyat dalam menentukan pilihannya sendiri yang oleh para pemimpin dan elit politik dijadikan alasan ---di samping alasan konstitusional tentang demokrasi perwakilan--- sehingga hak pilih dan kedaulatan mereka harus dicabut dan diserahkan (saja) kepada para wakilnya di parlemen?

1412822898939696335




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline