Lihat ke Halaman Asli

Media : Pengawas yang Diawasi

Diperbarui: 1 Juni 2016   23:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam negara demokratis, media menjadi kekuatan ke empat negara setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Secara teori, media menjadi pengawas dari ketiga badan tersebut. Namun fakta berkata lain, media seringkali menjadi alat bagi ketiga bagian tersebut, bukan menjadi pengawas bahkan di negara yang katanya “demokratis”, seperti di Indonesia. Indonesia merupakan negara yang menganut sistem politik demokratis sejak Reformasi tahun 1998. Sistem politik di Indonesia yang demokratis membebaskan media pers untuk melakukan kegiatan jurnalistiknya tanpa adanya intervensi dari pemerintah seperti pembredelan, atura-aturan yang mengekang kebebasan pers maupun usaha-usaha preventif pada pemberitaan di media. Namun media harus tetap memiliki rasa tanggung jawab sosial atas kebebasannya tersebut. Tidak hanya isi berita namun kepemilikan media juga bebas. Hal ini membuat orang-orang berbondong-bondong mendirikan perusahaan media dan pada perkembangannya, dewasa ini media yang ada di Indonesia dimiliki oleh beberapa orang saja.

Hal seperti itu tentu bertolak belakang dengan peran media yang sesungguhnya adalah sebagai alat pengontrol/pengawas negara. Keberadaan media di Indonesia saat ini justru mengikuti kekuasaan politik yang memiliki intervensi tinggi terhadap media. Kepemilikan media menentukan apa yang akan ditayangkan oleh media tersebut. Media seolah digunakan sebagai alat propaganda politik yang paling penting dalam kehidupan politik. Media seolah menjadi alat yang paling efektif untuk mempengaruhi khalayak dengan segala ideologi yang diberikan oleh pemilik media. Media juga merupakan sebuah alat untuk berkompetisi baik dalam menjaga citra baik seseorang ataupun menjatuhkan citra orang lain; dan melalui medialah kepercayaan masyarakat muncul. Kepercayaan itu bukanlah karena masyarakat memang mengenal secara lebih dekat dengan sesuatu yang diberitakan, namun karena masyarakat menerima ideologi yang diterimanya melalui tayangan media.

Fenomena ini terlihat jelas ketika pemilu Presiden tahun 2014. Dimana Metro tv dan TV One secara terang-terangan memihak pada calon tertentu. Padahal ditulis secara jelas dalam UU No. 40 th 99 tentang pers bahwa media harus bersikap netral. Keberpihakan politik mempengaruhi pemberitaan pemilu pada kedua media tersebut. Hal ini dikarenakan pemilik media tersebut memiliki partai politik sehingga kedua media tersebut seakan mengikuti kehendak dari. pemilik medianya. Pengaruh politik yang dibawa oleh pemilik media akan mengikuti isi dari media itu sendiri. Media televisi seperti TVOne, memiliki porsi pemberitaan yang lebih banyak untuk kandidat nomor urut satu, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Sebaliknya, MetroTV dinilai lebih banyak memberikan porsi pemberitaan untuk Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Model pemberitaan yang disampaikan oleh kedua media tersebut tentu berbeda tergantung pada kepentingan pemilik media tersebut. Jika pemilik media terlibat dalam pesta demokrasi yang saat itu terjadi hal ini maka akan semakin menunjukkan konten apa saja yang disajikan oleh media tersebut. Tvone lebih banyak memberikan bahkan mengunggulkan pasangan Prabowo-Hatta saat pemilihan umum Presiden 2014 karena pemilik Tvone adalah Abu Rizal Bakrie selaku koalisi pilpres pasangan nomor urut 1 Prabowo-Hatta. Sebaliknya MetroTv mengunggulkan pasangan nomor urut 2 yaitu Joko Widodo-Jusuf Kalla. Hal ini mengingat pemilik MetroTv adalah Surya Paloh yang juga Ketua Umum Nasdem dan bergabung dalam barisan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Bahkan dalam hal pemberitaan perhitungan suara quick countpun kedua media ini menyajikan berita yang berbeda. Dalam hal quick count, di TVone jumlah suara yang diperoleh oleh pasangan nomor urut 1 lebih unggul dibandingkan pasangan nomor urut 2. Sama halnya dengan MetroTv yang juga mengunggulkan perolehan suara pasangan nomor urut 2, yaitu Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Jika media tak lagi bersikap netral seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, maka yang terjadi bukan lagi demokrasi, namun teknokrasi yakni dimana kekuatan politik dimonopoli oleh pemilik media. Seperti itulah media dalam kancah politik saat ini, baik nasional maupun internasional. Media menjadi penentu mana hal yang dapat diangkat dan mana hal yang akan dikesampingkan. Sadar akan pentingnya dan besarnya peranan media dalam persepsi masyarakat, maka hal itulah yang membuat calon presiden saat itu berlomba untuk bekerjasama dengan kelas ketiga atau pemiliki media tersebut. Alih-alih media menjadi suara rakyat media malah menjadi medium untuk menyiarkan hal-hal yang dipergunakan untuk kepentingan elit dengan berkedok suara rakyat. Jika sudah begini berita sebagai produk media tidak lagi relevan sebagai media yang fungsinya memberikan informasi yang akurat dan terpercaya karena keberpihakan media tersebut.

Essay Sistem Komunikasi Indonesia & Politik
Disusun oleh : Zuyyina Afwa, Dwi Nur Santi, Ratih Putri, Vinna Rizki dan Erin Sulastika




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline