Subsidi Pupuk memang telah dilakukan sejak lama, terhitung sudah mulai dilaksanakan dari tahun 1969. Pada dasarnya, kebijakan Subsidi Pupuk dapat terbagi menjadi beberapa periode. Periode pertama, dilaksanakan pada tahun 1970-1998, pada periode ini diterapkan sistem subsidi harga dengan sumber pembiayaan dari APBN. Selama periode tersebut, diadakan dua jenis subsidi yaitu: (1) subsidi dari PLN dan pupuk impor (1970-1973); dan (2) subsidi harga pupuk yang berasal dari impor dan produksi dalam negeri (1973-1998). Periode kedua, dilaksanakan pada tahun 1999-2001, yang mana sejak tahun 1998 subsidi harga pupuk terpaksa dicabut karena harga non-subsidi terlalu mahal akibat dari menurunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada saat terjadinya krisis ekonomi di tahun tersebut.
Periode ketiga dilaksanakan pada tahun 2003-2005, subsidi pupuk dilakukan dengan kombinasi antara subsidi gas untuk pupuk Urea dan subsidi harga untuk pupuk non-Urea. Terakhir, pada periode keempat, yaitu tahun 2006 sampai 2011, subsidi pupuk didistribusikan dalam bentuk subsidi harga, dengan sumber pembiayaan melalui APBN. Subsidi harga dihitung dengan formula pengurangan komponen Harga Pokok Produksi plus Biaya Distribusi dengan komponen HET. Tujuan dilaksanakannya subsidi pupuk adalah untuk melindungi petani dan sekaligus meningkatkan taraf ekonomi petani dan juga tujuan lain dari kebijakan subsidi pupuk adalah untuk memperkuat ketahanan nasional. Tujuan-tujuan tersebut pada akhirnya dibungkus ke dalam 6 prinsip yang harus dipenuhi, diantaranya adalah jenis, jumlah, harga, tempat, waktu , dan mutu.
Kebijakan Subsidi Pupuk pada pelaksanaannya memang penuh dengan berbagai tantangan, terutama dalam segi distribusi. Hal tersebut terjadi karena potensi korupsi dan distribusi tidak tepat sasaran menjadi hal yang harus benar-benar diperhatikan. Beberapa kebijakan distribusi pupuk yang telah dilakukan, dibagi dalam beberapa era, pertama ada Era Program Bimas (semi regulated period) tahun 1960-1979. Selanjutnya ada Era Pupuk Subsidi dan Ditataniagakan (fully regulated) tahun 1979-1998. Setelah itu ada Era Pasar Bebas (free market and semi regulated) tahun 1998-2001, kemudian dilanjut dengan Keputusan Menperindag No. 93/MPP/Kep./3/2001 Tanggal 14 Maret 2001 tentang Pengaturan Kembali Tataniaga yang diperbaharui lagi melalui Keputusan Menperindag No. 03/M-DAG/Per/2/2006 tentang Sistem Distribusi Pupuk Bersubsidi saat ini masih menganut sistem distribusi pasif dan semi tertutup. Distribusi pasif itu sendiri merupakan skema penyaluran pupuk bersubsidi yang dilakukan oleh produsen mulai dari pabrik sampai ke tingkat pengecer (tingkat kecamatan) yang kemudian dijual di pasar dilakukan secara pasif.
Ada banyak jenis pupuk yang disubsidi oleh pemerintah diantaranya adalah pupuk Urea, ZA, SP-36, NPK dan pupuk organik. Penyaluran pupuk subsidi dilakukan oleh beberapa produsen pupuk yang ditugaskan langsung oleh Pemerintah yaitu PT Pupuk Sriwidjaja (Persero) dengan anak perusahaannya yaitu: PT Pupuk Sriwidjaja Palembang, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Kalimantan Timur, PT Pupuk Iskandar Muda dan PT Petrokimia Gresik. Setiap produsen tersebut dituntut untuk mendistribusikan pupuk dengan tepat sasaran dan juga dituntut senantiasa menjaga keamanan pupuknya, salah satu cara menjaga keamanan pupuk adalah pada kemasan pupuk bersubsidi wajib diberi label yang bertuliskan "Pupuk Bersubsidi Pemerintah. Barang dalam Pengawasan" yang mudah dibaca dan tidak mudah hilang/terhapus.. Pemberian label tersebut ditujukan untuk memudahkan pengawasan terhadap penyaluran pupuk bersubsidi dan pupuk non subsidi yang dilakukan oleh produsen, distributor maupun oleh pengecer resmi. Pelaksanaan pengadaan, penyaluran, dan peredaran pupuk bersubsidi dilakukan sesuai dengan ketentuan yang tertera pada Peraturan Menteri Perdagangan tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian. Secara singkat, bagan dibawah ini akan menjelaskan mengenai skema penyaluran pupuk bersubsidi
Dalam bagan tersebut terlihat bahwa produsen bertanggung jawab untuk menyalurkan pupuk bersubsidi di gudang Lini II sampai Gudang di Lini III. Penyaluran pupuk bersubsidi dari Lini III sampai ke pengecer atau Lini IV merupakan tanggung jawab penuh dari Distributor, sedangkan penyaluran dari Lini IV atau pengecer ke kelompok tani menjadi tanggung jawab pengecer . Penyaluran ke kelompok tani ini berpedoman kepada Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang disampaikan oleh masing-masing Dinas pada awal tahun dan diberlakukan untuk satu tahun. Khusus dalam pengangkutan yang dilakukan oleh distributor, sarana pengangkutannya harus terdaftar pada produsen dengan mencantumkan identitas khusus sebagai angkutan pupuk bersubsidi.
Kebijakan subsidi pupuk yang sudah berlangsung lebih dari 50 tahun ini tidaklah efektif meski program ini terus mengalami perbaikan dalam mekanisme pendataan, penyaluran dan penebusannya melalui introduksi e-RDKK, Kartu Tani, Simluhtan dan aplikasi T-Pubers. Berdasarkan hasil kajian OMBUDSMAN, terdapat beberapa masalah dan hambatan dalam tata kelola program pupuk bersubsidi yang berpotensi memunculkan temuan maladministrasi, berikut 5 tipologi masalah dan hambatan program subsidi pupuk :
Sasaran petani/kelompok tani penerima pupuk bersubsidi, penentuan kriteria dan syarat petani penerima pupuk bersubsidi saat ini tidak diturunkan dari rujukan Undang-undang yang mengatur secara langsung yaitu UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dan UU 22/2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan, serta UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik.
Akurasi data penerima pupuk bersubsidi, pendataan petani penerima pupuk bersubsidi dilakukan setiap tahun dengan proses yang lama dan berujung dengan pendataan penerima subsidi yang tidak tepat sasaran..
Mekanisme distribusi, terbatasnya akses bagi petani untuk memperoleh pupuk bersubsidi serta permasalahan transparansi proses penunjukan distributor dan pengecer resmi.
Efektifitas penyaluran, mekanisme penyaluran pupuk bersubsidi yang belum selaras dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik dan prinsip enam tepat