Lihat ke Halaman Asli

Mengenal Agama Warisan dan Menjadi "Ahli Waris" yang Baik

Diperbarui: 27 Juni 2019   01:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Malam itu kami berbicara tentang tuhan, agama, dan budaya yang “disakralkan” menjadi agama. Diskusi hangat terjadi. Kami berusaha menanggalkan pakaian, supaya telanjang. Namun kami masih berada dalam keramaian, jadi urung melakukan. Alhasil, kami tetap berpakaian. Separuh compang-camping. Duduk sambil minum es krim. Agar sedikit dingin. Bicara tuhan, agama, dan budaya yang membalutnya, yang kerap mengaburkan kemurniannya.

Sebelumnya,  beberapa temanku pernah mengaku sedang mencari tuhan-NYA. Mereka mengikuti beberapa agama untuk menemukan jalan bertemu tuhan, mempelajari kitab-kitab untuk meyakini hatinya. Mungkin ingin seperti  PK dalam film India, walau tidak sebegitunya.

Ada yang belum mengerti dengan agama yang dianutnya. Siapa itu Tuhan? Benarkah Tuhan yang menciptakan manusia ? Atau justru manusia yang 'menciptakan' Tuhan?

Mampukah manusia menggapai Tuhan dengan nalar dan pikirannya yang pendek?

Seorang kawanku juga ada yang sedang memandang kagum terhadap kaum agnostik yang notabene lebih berbudaya ketimbang yang mengaku beragama. Di sisi lain juga penuh kritik terhadap budaya yang membalut agama. Akhirnya perlahan-lahan beliau meninggalkan rutinitas beragama. Lebih tenang katanya.

Dan kami masih bergelut pada pertanyaan, pernahkah kamu sulit membedakan mana yang ajaran agama dan mana yang budaya? Mana yang kamu ikuti? Mana yang benar? Mungkinkah  ini efek dari menganut “Agama warisan” ? Seperti ungkapan Adik Afi Nihaya yang sekarang sedang booming di media massa.

Ah, agama warisan. Aku pernah disyahadatkan kembali karena tidak bisa menjelaskan bagaimana aku bisa menerima warisanku. Akhirnya aku belajar.  Agar menjadi ahli waris yang baik. Ternyata belajar tidak bisa hanya membaca buku. Aku harus mendalami kitabku. Iqra’  harus dengan bismirabbika. Karena  dulu kata guruku, buku bukanlah wahyu.  

Bagaimana menurutmu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline