Lihat ke Halaman Asli

Cinta yang Diratapi

Diperbarui: 10 Januari 2016   15:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Apakah kau pernah jatuh cinta?”
Tidak pernah, Sebelumnya.
“Lalu bagaimana kau tahu begitu banyak tentang cinta?
Aku hanya suka membaca tentang cinta.

 

Kau tahu, langit tak bertiang itu jadi saksinya ketika kau bilang, “Cinta membuat kita tidak sendiri meskipun menurut Chairil Anwar hidup adalah kesunyian masing-masing”, tapi aku tidak percaya. saat itu.

Malam itu kita berdiskusi tentang cinta. Aku bertanya padamu, kenapa juliet begitu bodoh mengikuti romeo yang meninggal dan membunuh dirinya dengan belati, ataupun isolde yang meninggal karena kesedihan dan cintanya pada Tristan, majnun yang menjemput ajalnya di pusara laila. Semua itu tidak bisa ku mengerti mengapa seseorang rela saling mengorbankan dirinya untuk pasangannya, apakah mereka tidak punya tuhan? Apakah cinta itu tuhan mereka? Apakah tidak ada yang lebih berarti di dalam hidup mereka selain pasangannya? Sahabat, cita-cita, orangtua, atau saudara mungkin?” malam itu, pertanyaanku bertubi-tubi padamu. Tapi kau hanya diam, dan tersenyum sambil menatap bintang yang berkedip mesra padamu.

Aku tanya kenapa kau tidak menjawab? Kau diam saja. Aku merengut, dan duduk di tepian atap. “Cinta memang tidak masuk akal” gumalku sendiri.
Tapi kali itu, kau tidak diam. Katamu, “Cinta memang bukan bagian dari struktur rasio. Cinta itu bagian non-rasional dari dalam fakultas manusia. Cinta yang membuat romeo dan Juliet menjadi legenda. Cintalah yang membuat semesta realitas menjelma. Sesuatu yang tidak mungkin diungkapkan, dan tidak perlu diungkapkan. Cukup dirasakan, dinikmati, dan diratapi. Setidaknya itulah cinta menurut sang alchemist. Pernahkah kau mendengarnya?” tanyamu padaku

“Tidak, . buku apa lagi yang kau baca itu? Aku tidak pernah mendengarnya. Aku tidak ingin mendengarnya. Sudahlah, berhenti berbicara dan mulai bertindak.” ujarku kesal

Tiba-tiba kau menarik tanganku, dan membawa tubuhku dalam pelukanmu.
“Tak perlu kuungkapkan, cukup kau rasakan. Karna kau dan aku, sebuah kemustahilan” bisikmu.
“Kalau begitu, biar kuratapi saja cinta ini” balasku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline