Lihat ke Halaman Asli

Si Tuli yang Tak Tuli

Diperbarui: 10 Januari 2016   12:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Tuli ..tuli.”. “Tuliiiiiiiiiii”
“Iyaaa..sebentar bu, “ jawab si tuli.
“Kamu ini dipanggil dari tadi kok baru nyahut” tukas ibunya.
“Maaf bu, saya tidak dengar.” ujar si tuli
“Kenapa raut mukamu suram begitu? “ tanya ibunya.
“AKU INGIN GANTI NAMA !” teriaknya kasar pada ibunya.
“Aku malu bu, banyak teman-temanku memanggilku tuli, guruku juga sering memanggilku dengan sebutan tuli, terkadang ibu juga, kenapa harus tuli sih bu? Aku kan tidak tuli.aku sudah besar bu, dan aku malu. ” Tambahnya emosi.

Ibu hanya tersenyum simpul tak menanggapi pertanyaan si tuli. Si tuli semakin emosi. Lalu sang ibu menyuruhnya mengambil sebuah buku di kamar ibu. Tuli menolak, karena ia masih menggeram sementara ibunya menyuruhnya melakukan hal lain, bukan justru menjawab pertanyaannya. Dan sang ibu pun pergi ke kamar dan mengabaikan anaknya yang sedari tadi menggerutu di ruang tamu.
Dan beberapa saat sang ibu keluar sambil membawa buku yang cukup tebal, biografi tokoh dunia judulnya. Ibu asyik membolak-balik buku mencari halaman tertentu, sementara si tuli tidak peduli dengan apa yang dilakukan ibunya, dan terus menggerutu agar namanya diganti saja.

“Nah ini dia!” sang ibu tersenyum senang setelah menemukan halaman yang dicarinya.

Ibu perlahan menjelaskan kepada si tuli, “Namamu itu Multatuli, bukan tuli. Tuli hanya sebuah panggilan orang-orang agar lebih singkat memanggil namamu. Ya, terkadang ibu juga minta maaf terkadang suka memanggilmu seperti itu saat kau tidak dengar ibu memanggilmu. Kau tahu, nama itu adalah pemberian dari almarhum ayahmu, memiliki makna yang sangat dalam. Ayahmu meninggal saat ibu masih mengandungmu 6 bulan. Ayahmu adalah seorang yang rajin membaca dan mengenal banyak tokoh di dunia lewat jendela dunia . Eduard Douwes Dekker adalah tokoh idolanya. Seorang pejabat Belanda yang sangat idealis di jaman colonial Belanda dan sangat peduli terhadap kemelaratan bangsa pribumi yang ditindas oleh kesewenang-wenangan penjajah dari bangsanya sendiri. Beliau berani menantang yang salah dan memperjuangkan apa yang benar, meskipun ia sendiri harus menderita. Oleh karenanya ia menulis sebuah buku dengan nama pena Multatuli, yang artinya “Aku yang menderita”. Buku itu berjudul Max Havelaar, seorang tokoh utama didalam buku tersebut yang sebenarnya adalah dirinya sendiri. Pejabat Belanda yang hidup menderita karena membela nasih kaum jajahan negaranya sendiri. “ jelas ibu, sementara tuli masih mendengarkan dengan seksama.

Kemudian ibu melanjutkan ceritanya,"Tepat usia kandungan ibu 5 bulan, ayahmu sedang mengelus-elus perut ibu yang mulai membesar seraya berkata “ Entah perempuan atau lelaki, Kita akan beri nama anak ini Multatuli. Agar ia punya nurani yang tidak tuli. Menderita jika melihat orang lain menderita. Kau tahu, jaman sekarang ini begitu banyak manusia yang tidak tuli tapi nurani mereka tuli terhadap sesama.” Jelas ibu dengan mata berkaca-kaca.

Si tuli memeluk sang ibu dengan erat, dan berkata ”Namaku ‘tuli, Multatuli. Terserah orang memanggilku si ‘tuli. Tapi aku tidak tuli ibu, hati maupun nurani, ibu.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline