Lihat ke Halaman Asli

Berhemat atau Pemanasan Jelang Kiamat?

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Tak sedikit iklan bertaburan di beberapa sudut kota bahkan di layar kaca tentang penghematan energi. Tapi entah seberapa efektif iklan itu berdampak. Terbukti, dalam beberapa kali pertemuan selama saya memfasilitasi pembuatan Rencana Strategis Kota untuk Perubahan Iklim terbilang alot. Alot di sini adalah sulitnya aliran dukungan kota terhadap aksi mitigasi dan adaptasi Perubahan Iklim.

Saya memulai kampanye terhadap perubahan iklim untuk melakukan penghematan energi. Dunia sudah mulai panas akibat terperangkapnya gas di dalam atmosfer bumi. Biasa disebut gas rumah kaca. Dua diantaranya adalah gas methan (CH4) dan Karbondioksida (CO2). Gas-gas ini penting untuk menghangatkan bumi, namun akan berdampak panas jika jumlahnya berlebih. Bahkan tren global sudah mengindikasikan bahwa suhu bumi meningkat di kisaran 0,7 °C dalam 25 tahun terakhir. Kita merasakan ini pula dalam keseharian kita.

Gunung es mencair dan muka air laut naik sehingga mengancam kehidupan masyarakat pantai. Perubahan iklim pula yang menyebabkan bertambahnya durasi musim kemarau hingga sangat panas dan kering. Serta durasi musim hujan singkat dengan curah hujan tinggi hingga banjir dimana-mana. Sudah rahasia umum bukan?

Sejatinya, ada poin penting yang bisa kita lakukan. Mengurangi emisi penghasil gas rumah kaca. Ini bisa dilakukan dengan menambah penyerap gas tersebut dan mengurangi sumber penghasil gas tersebut. Yang dapat menyerap karbondiokasida misalnya, adalah pohon. Tentu untuk proses fotosintesis. Semakin banyak pohon, semakin banyak CO2 yang bisa diserap. Suhu udara di LINGKUNGAN kita pun sejuk dibuatnya. Itu sebabnya pemerintah Indonesia mentargetkan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26% sampai tahun 2020. Sebagian besar diupayakan dengan memperbaiki hutan.

Lalu, bagaimana caranya mengurangi sumber penghasil gas rumah kaca? Dalam kajian ilmiah, ini biasa disebut dengan reduksi emisi. Penghasil emisi ternyata berasal dari banyak sektor. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) membaginya dalam beberapa sektor penting. Antara lain energi (listrik, bahan bakar minyak, air baik untuk pemukiman maupun industri) dan limbah (padat/sampah, dan cair). Kita lihat hal-hal kecil yang kita bisa perbuat.

Hemat Listrik

Listrik di negara kita dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil (baca: batubara). Proses pembakaran inilah yang mengasilkan emisi gas karbondioksida tinggi. Jumlah emisi yang dihasilkan dari pembakaran 1 ton batubara adalah sebesar 1.98 CO2e (baca: CO2 ekivalen). Menurut Badan Geologi Kementerian ESDM pada tahun 2010 menyebutkan bahwa untuk penyediaan listrik, sumber batubara di Indonesia mencapai 104,8 Milyar ton (51,9 Milyar ton di Kalimantan dan 52,5 Milyar ton di Sumatera), dengan cadangan 21, 1 Milyar ton.

Bisa dibayangkan bukan berapa emisi yang dihasilkan dari pemenuhan kebutuhan listrik tanah air. Hampir 207,5 Giga Ton CO2e. Luar biasa. Itu karenanya, menghemat listrik sangat penting untuk mengurangi pembakaran batubara. Kita harus bisa melakukan hal-hal kecil di rumah. Berganti ke lampu hemat energi (bukan iklan, tapi saran), mematikan lampu, TV ataupun alat elektronik lain bila tidak diperlukan adalah sebagian diantaranya.

Itu yang bisa dilakukan di rumah. Pemerintah juga bisa menghemat konsumsi listrik untuk penerangan jalan umum (PJU). Sektor PJU ini ternyata penyumbang konsumsi listrik di kota-kota. Penggantian ke lampu hemat energi seperti LED disinyalir mampu menghemat hingga 60%.

Selain itu, Pemerintah juga bisa mendesain gedung-gedung di kota agar ramah lingkungan. Seperti mengatur tata udara (penghematan hingga 70%) atau tata cahaya (penghematan hingga 20%). Istilah green buiding hendaknya tidak hanya istilah, tetapi juga diterapkan. Apalagi Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral mencatat Indeks Konsumsi Energi (IKE) perkantoran di Indonesia mencapai 240 KWh/m2. Meski masih dibawah IKE Pusat perbelanjaan yang mencapai 330 KWh/m2, namun pemerintah patut memberi teladan tentunya.

Hemat Bahan Bakar Minyak

Kenapa harus hemat bahan bakar minyak? Faktor emisi CO2 akibat pembakaran premium maupun pertamax adalah sebesar 0,0023/liter, solar 0,0027/liter, minyak tanah 0,0025/liter dan LPG 0,0016/liter. Di sini terlihat manfaat konversi gas ke LPG yang digalakkan pemerintah melalui PERTAMINA.

Begitu pula yang terjadi di propinsi Jawa Timur. Propinsi dimana saya dilahirkan. Selama tahun 2010, PERTAMINA regional Jawa Timur mencatat konsumsi premium untuk Jawa Timur adalah 3,191,640 kiloliter dan solar 667.899 kiloliter. Total konsumsi tersebut menghasilkan 9,1 juta ton CO2e. Belum lagi sumbangan emisi dari penggunaan LPG, minyak tanah, gas dan lain-lain.

Kita tentu bisa melakukan banyak hal untuk menghemat BBM ini. Jika punya uang, saya akan memilih beralih ke mobil hemat bahan bakar atau mobil ramah lingkungan. Tentu sama dengan cita-cita anda bukan? Bukan isapan jempol tentunya, anggapan bahwa suhu kota meningkat lantaran makin padatnya jalanan. Rencana pemerintah melakukan konversi BBM ke BBG (Bahan Bakar Gas) mudah-mudahan segera terwujud dengan pembangunan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas oleh PERTAMINA. Karena ini disinyalir mampu menghemat energi hingga 7,2 persen. Lumayan.

Mengelola sampah mulai dari rumah

Sampah bukanlah penghasil CO2, namun dia adalah penghasil emisi methan (CH4). Meski sedikit, namun CH4 menyumbang emisi yang cukup besar. Proses dekomposisi sampah merupakan proses dimana CH4 dihasilkan. Karenanya, jika belakangan marak dikampanyekan bank sampah hingga pembangunan sanitary landfill di tempat pembuangan sampah akhir itu murni untuk mengurangi sampah organik yang diolah secara terbuka dan mengurangi sampah non organik yang berpotensi dibakar.

3R (Reduce, Reuse, Recycle) masih diharapkan bisa diterapkan di tiap rumah tangga. Selain mampu menjaga LINGKUNGAN tetap bersih, juga menjamin bahwa pengelolaan sampah di rumah tangga itu penting untuk reduksi CH4 di TPA. Perubahan perilaku buruk seperti buang sampah di sungai maupun membakar mulai harus dikurangi saat ini juga.

Menghemat air

Air bersih yang kita konsumsi untuk minum, mandi dll sebagian dihasilkan dari proses distribusi yang membutuhkan energi. Pompa PDAM misalnya. Tak hanya membutuhkan solar, namun juga membutuhkan listrik. Menghemat air erat kaitannya dengan menghemat solar dan listrik. Seperti dijelaskan di atas, listrik dan solar menyumbang CO2e. Semakin sedikit konsumsi air, maka semakin sedikit pula konsumsi listrik dan solar oleh pompa air.

Kementerian ESDM mencatat bahwa pemborosan energi disebabkan oleh faktor teknis sebesar 20% dan 80% oleh aktivitas manusia. Sebagai manusia Indonesia, kita tentu bisa melakukan hal-hal sederhana yang berdampak besar. Itu juga memberi manfaat terhadap target pemerintah menurunkan emisi gas rumah kaca. Bicara nasionalisme, ini penting. Mudah-mudahan pula, spanduk ajakan penghematan oleh PERTAMINA di setiap SPBU bukan sekedar hiasan. Maka wajar jika saya mengajak sobat sekalian untuk berhemat, jika tak ingin bumi rusak layaknya pemanasan jelang kiamat.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline