Tidak dapat dipungkiri bahwa pandemi COVID-19 (Corona) telah banyak menguras energi masyarakat dunia, khususnya para pemangku kebijakan di berbagai negara. Indonesia tidak terkecuali.
Dari pertama kali kemunculannya, pemerintah dirasa kelewat menganggap 'remeh' epidemiologi virus ini. Alih-alih memikirkan epidemiologi, pemerintah malah mengeluarkan pernyataan seperti: tidak perlu lockdown, tetap tenang, Indonesia aman dari COVID-19.
Alasannya, agar masyarakat tidak panik. Namun, ihwal itu justru membuat pemerintah kalang kabut, keteteran, menghadapi cepatnya penyebaran mata rantai virus.
Benar saja, Kota Jakarta, sebagai kota tersibuk di Indonesia, langsung menjadi episentrum utama . Hingga tulisan ini dibuat, Jakarta masih berstatus berjuang menghadapi virus yang telah menginfeksi lebih dari 12 Juta populasi dunia (berdasarkan data WHO per 12 Juli 2020).
Tidak seperti Jakarta, pemerintah kota Seol, Korea Selatan, justru langsung menetapkan status tanggap darurat ketika kasus COVID-19 muncul untuk pertama kali di Wuhan, Cina. Imbasnya, saat ini, Seoul ditetapkansebagai daerah yang telah berstatus aman dan membaik dari efek pandemi COVID-19.
Tulisan ini selanjutnya akan mengulas tentang bagaimana respon berbagai kota dan negara ketika berjuang menghadapi COVID-19, ditinjau dari aspek ketersediaan data publik, usaha-usaha preventif, metode tes yang digunakan untuk mendiagnosis virus, upaya kuratif, penerapan kebijakan pasca-pandemi, serta bagaimana statusnya sekarang. Kota yang diulas meliputi Jakarta (Indonesia), Berlin (Jerman), Washington D. C. (Amerika Serikat), Beijing (Cina), Seoul (Korea Selatan), dan satu negara yaitu Selandia Baru.
Segala informasi yang menjadi konten ulasan kebijakan di berbagai kota dan negara di bawah ini bersumber pada laman daring resmi dari masing-masing kota perihal COVID-19.
1. Aspek Ketersediaan Data Publik
Aspek ini menjadi krusial bagi pemenuhan kebutuhan informasi bagi masyarakat yang 'parno' dengan kondisi dan perkembangan terkini COVID-19. Di sisi lain, informasi yang bersumber dari data-data di lapangan, dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai sumber pengetahuan, yang mana kemudian dapat dijadikan sebagai dasar penentuan kebijakan, dalam hal ini penanganan COVID-19.
Kota Jakarta misalnya, memiliki laman daring resmi dan khusus untuk pemenuhan ketersediaan data publik. Hal itu juga diamini oleh negara lainnya, termasuk Washington D. C., Selandia Baru, Beijing, ataupun Seoul.
Data-data yang ditampilkan bervariasi, yang jelas informasi seperti jumlah kasus positif, kematian, dan kesembuhan ditampilkan secara interaktif, lengkap dengan peta persebaran, grafik, dan bagan-bagan statistik. Namun demikian, Berlin, tidak termasuk kota yang memiliki data-data interaktif semaca itu, yang dapat diakses secara daring dan bebas oleh masyarakat.