Lihat ke Halaman Asli

Djulianto Susantio

TERVERIFIKASI

Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Tulisan pada Prasasti Kuno Terbaca Gajah Mada, Bukan Gaj Ahmada

Diperbarui: 21 Juni 2017   20:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan Gajah Mada dalam aksara dan bahasa Jawa Kuno oleh Trigangga (Dokpri)

Beberapa hari terakhir ini nama Majapahit dan Gajah Mada begitu viral di media sosial. Ini gegara Majapahit dikatakan kerajaan Islam. Begitu pun Gajah Mada, sehingga namanya berubah menjadi Gaj Ahmada.

Pada kesempatan ini, saya cuma ingin membahas nama Gajah Mada. Setahu saya, sampai sejauh ini pernah terdapat beberapa prasasti dari Kerajaan Majapahit. Tiga di antaranya menyebut nama Gajah Mada, tentu saja dengan aksara dan bahasa Jawa Kuno. Bukan aksara dan bahasa Arab. Kini ketiga prasasti itu menjadi koleksi Museum Nasional Jakarta.

Prasasti Palungan (1252 Saka atau 1330 Masehi)

Prasasti Palungan pernah dikaji oleh Lely Endah Nurvita di Jurusan Arkeologi UI pada 2002. Prasasti itu ditemukan di Blitar (Jawa Timur) dan berasal dari masa pemerintahanTribhuwana atau lengkapnya Tribhuwanottunggadewi.

Prasasti Palungan di Museum Nasional (Foto: travellersblitar.com)

Pada masa Tribhuwana, ditemukan tujuh buah prasasti termasuk prasasti Palungan ini. Prasasti Palungan pernah diteliti oleh N.J. Krom pada 1913 dan L.Ch. Damais pada 1955. Penelitian Krom menghasilkan tanggal dikeluarkannya prasasti, sedangkan penelitian Damais menghasilkan tiga baris alih aksara berupa  unsur-unsur pertanggalan dan nama raja yang mengeluarkan.

Menurut Lely, untuk menyusun sebuah kisah sejarah dibutuhkan unsur waktu, tokoh, peristiwa, dan tempat. Keempat unsur tersebut belum Iengkap digali dan diteliti lebih mendalam. "Untuk dapat mengetahui empat unsur pokok sejarah prasasti Palungan, maka dilakukan alih aksara dan alih bahasa terhadap prasasti tersebut.  Selain itu untuk mengetahui apakah data ini layak atau tidak, maka data harus diuji dengan serangkaian tahap analisis yang dimulai dengan tahap Heuristik, dilanjutkan Kritik Teks (Ekstern dan Intern), Interpretasi, dan Historiografi," begitu kata Lely dalam pengantar skripsinya.

Dari hasil analisis tersebut Lely menyimpulkan bahwa Prasasti Palungan ditulis sesuai dengan zamannya dan bukan merupakan prasasti tiruan atau palsu sehingga Iayak untuk dijadikan data sejarah kuno Indonesia. Prasasti Palungan menyebutkan nama Gajah Mada dengan jelas. Ia menjabat "Patih ring Daha". 

Tulisan Gajah Mada pada (c) dan (d) dari skripsi Lely (Dokpri)

Prasasti Prapancasarapura (1337 Masehi)

Prasasti Prapancasarapura ditemukan di Surabaya. Tarikhnya 1337 Masehi. Disayangkan sebagian besar unsur-unsur penanggalan pada prasasti ini rusak. Bagian atas prasasti hilang, mungkin dipangkas karena patahannya merata. Diperkirakan prasasti ini akan dijadikan potongan balok-balok batu yang lebih kecil. Indikasinya adalah dua pahatan garis melintang dan membujur yang membuat sebagian tulisan menjadi rusak.

Oleh karena bagian atas prasasti sudah hilang, maka hilang pulalah sebagian tulisan yang biasanya memuat unsur penanggalan. Di Museum Nasional, prasasti itu ditandai dengan nomor inventaris D.38.

Prasasti Prapancasarapura di Museum Nasional (Foto: fasttrans22.blogspot.co.id)

Ada tiga nama penting yang disebut prasasti itu, yakni Hayam Wuruk, Gajah Mada, dan Adityawarman. Hayam Wuruk, dalam prasasti itu disebut Ayam Wuruk, telah dinobatkan menjadi raja muda (rjakumra) dan mempunyai daerah lungguh di Jwana. Gelarnya adalah Rjasanagara.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline