Lihat ke Halaman Asli

Djulianto Susantio

TERVERIFIKASI

Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Sumber Sejarah Nusantara Banyak Lapuk dan Rusak

Diperbarui: 17 September 2024   16:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Naskah yang lapuk/kiri dan prasasti yang (di)rusak/kanan (Sumber: Materi Munawar Holil dan Ninie Susanti)

Manusia memiliki cara tersendiri dalam berkomunikasi terhadap sesama, salah satunya lewat tulisan. Berawal dari ungkapan simbolik, berkembanglah aksara yang kemudian disepakati dan dipahami oleh sekelompok masyarakat sebagai sarana berkomunikasi, menyampaikan gagasan atau pesan, hingga menyebarluaskan ilmu pengetahuan.

Aksara-aksara awal di Nusantara dituliskan pada berbagai media, baik media keras maupun media lunak. Sayangnya aksara-aksara awal itu kini sudah ditinggalkan dan tidak lagi digunakan. Namun berbagai jenis aksara itu masih ada jejak-jejaknya. Bahkan kemudian dipelajari oleh generasi yang tidak pernah merasakan aksara-aksara tersebut.

Filolog Munawar Holil/kiri dan Epigraf Ninie Susanti/kanan (Dokpri)

Prasasti

Aksara tertua tercetap pada pada prasasti. Masyarakat awam sering menyebut prasasti dengan inskripsi, batu bertulis, atau batu bersurat. Aksara pada prasasti ditulis pada media yang tidak mudah rusak atau keras, misalnya batu, logam (emas, perak, perunggu, tembaga, timah), tanah liat (baik yang hanya dibakar maupun dijemur), tanduk binatang, dan bahan-bahan yang tidak mudah rusak lainnya.

Ada beberapa jenis batu yang digunakan untuk memahat prasasti, yakni batu alam dan batu kali. Biasanya batu besar dan berbentuk batu tunggal. Namun ada juga prasasti yang dipahatkan pada bagian benda atau bangunan, misalnya pada bibir sumur, dinding candi, relief, dan makara.

Masyarakat biasanya hanya tahu kalau prasasti berasal dari masa Hindu-Buddha atau dalam babakan arkeologi disebut Periode Klasik. Namun pada Periode Islam pun dikenal prasasti, tentu saja dengan aksara Arab. Beda dengan masa-masa sebelumnya yang sebagian besar beraksara Pallawa dan Jawa Kuno.

Mata uang uang bertulisan (Sumber: Materi Ninie Susanti)

Pada Periode Islam prasasti dipahatkan pada nisan, mimbar masjid, hiasan dinding, rumah bangsawan, cungkup, cincin dan cap kerajaan, mata uang, dan meriam. Mirip dengan itu terjadi pada Periode Kolonial. Umumnya prasasti dipahatkan pada nisan, rumah dinas pejabat, gereja, tugu peringatan, meriam, mata uang, dan cap. Sementara aksara Mandarin kuno dituliskan pada mata uang, keramik, gong perunggu, nisan, dan tugu peringatan.

Isi prasasti umumnya bermacam-macam seperti penetapan daerah yang dilindungi, keputusan pengadilan, utang-piutang, tanda kemenangan, bukti kewarganegaraan, ancaman, doa dan mantra, nama tempat, dan ungkapan perasaan seseorang. Sering kali prasasti mengandung angka tahun atau pertanggalan, sehingga menjadi acuan sejarah kuno.

Begitulah cerita tentang prasasti yang diungkapkan Ibu Ninie Susanti dari Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI). Epigrafi memang sebutan untuk pengetahuan yang mempelajari prasasti, sementara pakarnya disebut epigraf.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline