Papua memiliki wilayah yang sangat luas. Pulau ini terdiri atas satu pulau besar dan ratusan pulau kecil. Pulau-pulau itu ada yang berpenghuni, ada pula yang tidak berpenghuni.
Pada masa lampau, datang dua kelompok manusia purba yang bermigrasi sampai ke wilayah Papua dalam periode yang berbeda. Mereka adalah kelompok Australopapuan (Melanesia) yang tiba lebih awal sekitar 50.000 tahun lalu. Selanjutnya kelompok Mongoloid Selatan (Penutur Austronesia) yang tiba sekitar 3.300 tahun lalu.
Budaya penguburan
Kedua kelompok manusia purba ini adalah pembentuk kebudayaan Papua, salah satunya adalah budaya penguburan. Penguburan adalah salah satu proses dalam suatu adat kematian, berkaitan erat dengan perlakuan orang hidup kepada tubuh atau tulang-belulang orang mati, dan menjadi tempat terakhir bagi si mati di dunia sekaligus menjadi titik awal perjalanan menuju alam roh.
Demikian diungkap Erlin Novita Idje Djami, seorang peneliti dari Kelompok Riset Austronesia yang berada di bawah Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dalam webinar yang diselenggarakan 31 Agustus 2023.
Diungkapkan lebih lanjut, salah satu bukti aktivitas penguburan masa lampau di Papua adalah ditemukannya sisa-sisa manusia pada berbagai macam ruang alam, seperti di ceruk, gua, celah-celah dinding batu, hutan, bukit, dan sebagainya. "Sisa-sisa penguburan yang sangat menonjol adalah keberadaan tulang-tulang manusia," katanya.
Berdasarkan hasil penelusuran arkeologi terhadap jejak-jejak penguburan masa lampau di wilayah Papua, menurut Erlin, banyak ditemukan jejaknya di area pesisir-pesisir pantai, wilayah pedalaman, dan wilayah pegunungan tengah Papua serta di pulau-pulau sekitarnya. Jejak penguburan antara lain terdapat di Ceruk Nusuedo di pedalaman Pulau Biak dan Ceruk Sanderpum 3 di Pulau Yeri.
Bekal kubur
Selain tulang-belulang manusia, termasuk tengkorak, ditemukan kehadiran bekal kubur berupa fragmen gerabah dan alat kerang. Menurut Erlin, tulang-belulang manusia pernah diambili oleh masyarakat. Ini karena ada iming-iming uang, yakni Rp 300.000 untuk sekarung tulang-belulang. Terutama adanya upaya dari pihak Jepang untuk merepatriasi tulang-belulang warganya.
Yang menarik, kata Erlin, di beberapa tempat ada yang hanya ditemukan tulang tanpa tengkorak. Mungkin tulang-tulang ini berserakan akibat perang suku. Kemungkinan, kepala musuh itu dipenggal lalu 'dipajang' di wilayah sang lawan.