Gempuran media daring memang sulit dibendung. Sejak beberapa tahun lalu satu per satu media cetak---berupa koran, majalah, dan sejenisnya---mulai bertumbangan. Apalagi munculnya berbagai ponsel pintar. Dunia berada di dalam genggaman, begitulah yang terjadi.
Coba lihat atau hitung berapa banyak generasi muda yang masih membaca media cetak. Semua sudah beralih ke daring. Media cetak boleh dibilang hanya kebutuhan generasi kolonial, terutama yang masih gaptek.
Namun belum semua media cetak tenggelam oleh dunia digital. Sampai sejauh ini masih ada sejumlah media cetak yang setia menemani para pembaca. Salah satunya Majalah Intisari yang terbit setiap bulan.
Beberapa hari lagi majalah ini akan berusia 60 tahun. Usia yang cukup tua untuk sebuah media cetak. Pertama kali Intisari terbit pada 17 Agustus 1963. Kemudian Intisari memiliki adik yang bernama Kompas. Harian Kompas mulai terbit pada 28 Juni 1965.
Sejak 1970-an
Saya mengenal dan membaca Intisari mulai 1970-an. Dulu ayah saya suka membeli Intisari. Saya pun suka dapat Intisari dari tante saya yang bekerja di PT Kinta, tempat Intisari dicetak.
Seingat saya, saya masih menyimpan Intisari sebelum 1970. Saat itu sampul Intisari tipis. Beberapa koleksi malah tidak bersampul. Mungkin copot karena masih menggunakan jilid kawat.
Saya berlangganan Intisari mulai 1980-an. Hampir semua Intisari saya simpan dalam kontener, baik kontener besar maupun kontener sedang. Rupanya ada yang kurang lengkap. Mungkin karena dipinjam dan tidak dikembalikan.
Selain Intisari ada juga tabloid Mutiara, majalah Warnasari, majalah Basis, majalah Sahabat Pena, majalah Reader's Digest Indonesia, dan beberapa majalah lain. Sayang rumah saya kecil sehingga kontener-kontener berisi majalah saya simpan di gudang.
Sampai sekarang saya masih berlangganan Intisari dan juga adiknya, Kompas. Semoga Intisari dan Kompas tetap bertahan di dunia cetak dan beriringan dengan dunia digital.