Ternyata dampak internet begitu besar. Sejak beberapa tahun lalu banyak korban berjatuhan. Banyak usaha terpaksa tutup atau mengurangi jumlah pegawai. Bioskop dan toko kaset/VCD, misalnya, menjadi salah satu korban kemajuan teknologi itu. Begitu juga toko-toko konvensional, untuk digantikan toko-toko online atau daring.
Korban lain adalah toko buku. Beberapa toko buku telah dan akan tutup. Hal ini tentu saja berdampak pada PHK. Beberapa hari lalu saya membaca Toko Buku Gunung Agung akan menutup seluruh gerai di seluruh Indonesia. Rugi menjadi alasan utama pihak manajemen menutup Toko Buku GA.
Pelopor
Yang saya tahu, Toko Buku GA merupakan pelopor. Pada 1970-an saya sering ke sana. Selain membeli buku pelajaran, juga membeli buku-buku lain seperti komik petruk-gareng. Waktu itu memang keberadaan toko buku amat jarang. Jadi menjelang tahun ajaran baru, Toko Buku GA ramai pengunjung.
Waktu itu Toko Buku GA baru ada satu, yakni di Jalan Kwitang, tidak jauh dari perempatan Senen. Rupanya bisnis buku menangguk untung besar. Lalu Toko Buku GA memperluas bisnisnya dengan menjual alat tulis dan alat kantor (ATK).
Pihak manajemen pun memperluas usaha dengan membuka toko baru, tidak jauh dari toko lama. Juga di pusat pertokoan modern, seperti di plaza atau mal. Dengan demikian, masyarakat lebih mudah mencari buku atau ATK.
Namun lambat-laun muncul toko-toko buku bermodal besar. Maka Toko Buku GA pun mempunyai saingan. Tentu saja margin keuntungan semakin mengecil.
Beberapa tahun lalu sebelum Covid-19 melanda dunia, seingat saya Toko Buku di Mal Kelapa Gading tutup permanen. Begitu juga di Mal Arion. Sebelumnya saya pernah beberapa kali membeli buku di kedua toko itu.
Literasi
Sebagai pecinta literasi, saya merasa sedih kalau toko buku tutup. Apalagi beberapa hari lalu mendengar kabar Toko Buku GA akan menutup seluruh gerai yang tersisa. Yang ironis, pameran buku di Serpong yang akan berlangsung hingga awal Juni 2023, justru dipadati pengunjung. Pikir saya, masyarakat tergiur dengan diskon besar.