Lihat ke Halaman Asli

Djulianto Susantio

TERVERIFIKASI

Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Pipi Ditusuk Besi Tajam pada Ritual Cap Go Meh

Diperbarui: 6 Februari 2023   12:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Besi tajam yang menembus pipi pada ritual Cap go meh (Dokpri)

Dua tahun belakangan, yakni pada 2021 dan 2022, pesta Cap go meh tidak dirayakan masyarakat Tionghoa karena terkendala peraturan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat). Maklum pandemi Covid masih belum hilang dari negara kita.

PPKM mulai diberlakukan sejak Maret 2020. Perayaan Cap go meh terakhir sebelum Covid berlangsung pada Februari 2020. Soalnya ketika itu belum ada larangan.  Cap go meh adalah rangkaian terakhir, merupakan hari ke-15 setelah Tahun Baru Imlek. Tahun ini Imlek dirayakan pada 22 Januari 2023, sehingga Cap go meh dirayakan pada 5 Februari 2023.

Saya berkesempatan menikmati Cap go meh di bilangan Pecinan, tepatnya di kawasan Glodok. Kawasan ini terletak tidak jauh dari stasiun kereta api Jakarta Kota. Sayang tidak mencicipi lontong Cap go meh. Soalnya kuliner ini ada pada setiap waktu.

Sarapan di Petak 6 sebelum berkeliling kawasan Pecinan (Sumber: Agung Arya Putra)

Sebelum melihat Cap go meh yang berlangsung siang hari, saya dan beberapa teman arkeologi, sempat makan pagi dan makan siang di Petak 9 terlebih dulu. Di sini masih banyak restoran tempo dulu dan restoran masa kini.

Kami dipandu oleh Candrian Attahiyyat. Arkeolog ini pernah menjadi Kepala UPT Kotatua Jakarta. Jadi beliau hafal betul jalan-jalan di kawasan Glodok.

Dalam perjalanan kami melihat sisa-sisa rumah berarsitektur Tionghoa. Ternyata jumlahnya semakin berkurang. Beberapa kelenteng atau wihara kami datangi, seperti Wihara Dharma Jaya dan Wihara Dharma Bhakti.

Ramai sekali masyarakat di areal wihara. Ada warga Tionghoa, ada pula warga non-Tionghoa. Biasanya warga non-Tionghoa mencari rezeki atau berkah dari warga Tionghoa yang datang bersembahyang.  Mereka mengharapkan angpau tentunya.

Banyak pedagang burung di setiap wihara. Warga Tionghoa biasanya membeli sejumlah burung untuk dilepaskan ke alam. Sebagai pertanda buang sial atau mengharapkan rezeki di tahun berikutnya.

Bau hio atau dupa Tionghoa sangat terasa. Asapnya cukup mengganggu mata. Warga Tionghoa bersembahyang di dalam. Memohon rezeki, kesehatan, keselamatan, keberuntungan, dan sebagainya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline