Belum lama ini berdiri sebuah lembaga ilmiah bernama Center for Prehistory and Austronesian Studies (CPAS). Pendirian lembaga ini dipelopori oleh sejumlah arkeolog yang mengambil spesialisasi prasejarah, seperti Prof. (Ris.) Truman Simanjuntak, Prof. (Ris.) Harry Widianto, dan sejumlah arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang sekarang tergabung dalam BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional).
CPAS khusus bergerak di bidang studi prasejarah dan studi Austronesia. Prasejarah berupa ilmu yang mempelajari manusia purba sejak jutaan hingga ribuan tahun yang lalu. Dalam perjalanannya, kita mengenal manusia Australopithecus, Homo erectus, Cro-magnon, Neanderthal, dsb. Mereka berjalan dari satu tempat ke tempat lain, hingga sampai ke Nusantara yang waktu itu masih menyatu. Belum berbentuk seperti sekarang yang terpisah oleh laut tentunya.
Interaksi sosial budaya
Tanpa disadari, antara manusia yang datang dan manusia yang menerima kedatangan, terjadi interaksi sosial budaya. Jalinan hubungan tersebut ternyata turut membentuk identitas bangsa kita. Soalnya berbagai proses budaya kerap terjadi, saling mempengaruhi ragam tradisi dan adat-istiadat di setiap daerah. Salah satunya akulturasi, perpaduan harmonis hasil silang budaya tanpa meninggalkan ciri khas aslinya.
Bagaimana pertautan antarbangsa terjadi di masa silam dan apa artinya bagi bangsa Indonesia saat ini?
Rabu, 22 Juni 2022 CPAS menyelenggarakan "Online Public Talkshow" dengan topik "Akulturasi dalam Memori Kolektif Bangsa Indonesia". Narasumber dalam kegiatan itu Udaya Halim, seorang budayawan Tionghoa. Beliau pendiri Museum Benteng Heritage di Tangerang dan aktif di berbagai organisasi yang menebarkan pesan toleransi dan cinta tanah air.
Menurut Udaya, pelayaran Laksamana Cheng Ho atau Zheng He (1371-1433) banyak berpengaruh di Nusantara dalam bentuk tinggalan budaya yang bendawi dan nonbendawi. Cheng Ho diperintahkan oleh Kaisar Yong Le (Zhu Di) dari Dinasti Ming di Tiongkok untuk melakukan pelayaran ke Laut Selatan. Tujuannya membangun hubungan bilateral dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Selatan.
Dalam kurun waktu 1405-1433, Cheng Ho memimpin pelayaran sebanyak tujuh kali dengan armada kapal kayu (junk) sebanyak 220-300 kapal. Pelayaran itu membawa hampir 30.000 orang yang terdiri atas tentara, ahli pertanian, ahli perbintangan, penerjemah, dsb. Ketika pulang, ada rombongan yang kapalnya kandas, lalu menetap dan menikah dengan penduduk lokal.
Cheng Ho sendiri bernama asli Mohammad He. Nah, mungkin saja pendiri Demak, Raden Patah, bernama asli Jin Bun. Begitu pun para wali sembilan (walisanga), masih keturunan Tionghoa. Dalam menyerang Malaka, misalnya, Pati Unus dan Ratu Kalinyamat menggunakan Junk Jawa yang sangat dipengaruhi Junk Tiongkok.