Lihat ke Halaman Asli

Djulianto Susantio

TERVERIFIKASI

Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Daya Dukung Candi Borobudur Semakin Melemah

Diperbarui: 8 Juni 2022   01:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Candi Borobudur sekitar 1870. Puncak stupa induk menjadi tempat melihat pemandangan (Sumber: Buku Satu Abad Usaha Penyelamatan Candi Borobudur)

Berbagai pendapat tentang tiket Candi Borobudur masih tetap berlanjut. Boleh dikatakan semua orang setuju dengan pembatasan jumlah pengunjung demi kelestarian candi yang sudah berusia lebih dari seribu tahun itu. Berbagai pihak seperti arkeolog, pelaku wisata, birokrat, hingga masyarakat di sekitar Borobudur diwawancara oleh wartawan.

Memang banyak pihak menganggap tiket naik candi Rp750.000 terlampau berat. Jika diberlakukan hanya orang-orang tertentu yang bisa menikmati pemandangan dari atas candi. Soal besaran tiket, saya rasa belum ada kesepakatan. Namun yang jelas harus ada pemberlakuan tiket dengan sistem kuota dan pendaftaran secara daring. Kecuali jika hari itu kuota belum terpenuhi, pengunjung bisa membeli tiket mendaki candi secara langsung.

Pemberlakuan tiket khusus tidak akan mengurangi minat wisatawan. Maka museum dan pusat informasi di halaman candi harus mampu menggantikan informasi yang terdapat di atas candi itu. Bahkan bisa dilengkapi dengan teknologi kekinian sehingga seakan-akan pengunjung berada di atas candi.

Kegiatan wisata harus terkontrol dan terencana dengan baik. Wisata eksklusif atau wisata premium menjadi 'barang baru' yang harus dikembangkan sekaligus dikaji.

Stupa induk yang menganga ketika ditemukan (Sumber: Buku Satu Abad Usaha Penyelamatan Candi Borobudur)

Daya dukung semakin melemah

Ketika meneliti Borobudur pada 1985, saya perhatikan para pengunjung jarang sekali menikmati berbagai relief cerita pada beberapa lorong candi. Berbagai relief cerita itu terdapat pada teras rupadhatu. Pasti mereka tidak tahu bagaimana cara menikmati relief, apakah berkeliling sesuai jarum jam ataukah sebaliknya. Memang dimaklumi belum ada pemandu. Tujuan ke Borobudur pun cuma mau santai. Bukan untuk mendapatkan edukasi dan informasi.

Dengan pemberlakuan tiket masuk, kita harapkan pengunjung benar-benar ingin menikmati Candi Borobudur. Bukan sekadar hura-hura atau selfie dengan latar yang Instagramable. Kualitas wisata jauh lebih penting daripada kuantitas.

Pasti masyarakat belum banyak tahu kalau Candi Borobudur dibangun dengan teknologi tradisional. Pondasi bangunan masih sederhana. Jangan heran, semakin tahun daya dukung semakin melemah. Terutama dengan tambahan beban pengunjung di atas candi. Ini ibarat manusia yang semakin tua.

Bukan itu saja. Pembangunan Candi Borobudur tidak menggunakan semen. Antarbatu---kiri-kanan dan atas-bawah---hanya saling dikaitkan. Teknik mereka memang luar biasa. Namun daya tahan pasti akan melemah. Daya dukung semakin melemah jika ada gempa bumi. Itu pasti.

Candi Borobudur sekitar 1870, batu-batu masih berserakan (Sumber: Buku Satu Abad Usaha Penyelamatan Candi Borobudur)

Berantakan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline