Lihat ke Halaman Asli

Djulianto Susantio

TERVERIFIKASI

Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Dari Telepon Engkol dan Telepon Putar Hingga Telepon Seluler

Diperbarui: 4 Maret 2022   08:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Telepon jadul keluaran 1905 (Sumber: getty image melalui inet.detik.com/kiri) dan telepon putar (Sumber: amazon.com melalui m.jpnn.com/kanan)

Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan teknologi demikian pesat. Dampaknya sangat dirasakan di seluruh dunia. Ada 'sesuatu' yang hilang, ada pula 'sesuatu' yang muncul. Pekerjaan yang dulu dilakukan secara manual, misalnya, kini dilakukan secara elektrik. Bukan saja semakin cepat, tetapi semakin rapi dan indah.

Tadinya pekerjaan kantor menggunakan mesin tik manual, lalu mesin tik elektrik, kini digantikan komputer dengan segala perlengkapan dan kecanggihannya. Hingga saat ini komputer dengan berbagai fitur terus saja bermunculan. Di balik itu mesin tik manual dan mesin tik elektrik semakin ditinggalkan. Bisa dipastikan tidak lama lagi generasi mendatang tidak bakal mengenal lagi mesin tik.

Begitu juga telepon. Dulu telepon amat diandalkan untuk berbagai keperluan informasi dan komunikasi di rumah, tempat usaha, atau kantor. Pada awalnya, nomor telepon di Jakarta terdiri atas 4 angka. Saya lihat pada iklan-iklan perusahaan yang terdapat pada majalah keluaran 1950-an. Sedikit demi sedikit jumlah angka semakin bertambah. Pada 1970-an keluarga saya memiliki telepon rumah dengan 5 angka. Berarti semakin banyak warga memiliki telepon. Saat ini telepon sudah memiliki 7 angka, bahkan 8 angka.

Pengalaman saya karena pernah diajak ke kantor telepon di Jalan Matraman Raya, di situlah keluarga mendaftar telepon. Di situ pula tempat pembayaran biaya langganan. Saya harus ke sana setiap bulan. Pada era modern, pembayaran bisa lewat kantor pos atau bank, bahkan melalui online.

Cukup merepotkan terasa juga. Pernah ada telepon masuk ingin bicara dengan tetangga sebelah rumah. Kami memanggilkan dengan waktu cukup lama. Tentu si penelepon harus membayar biaya lebih tinggi.

Karena kebutuhan, kemudian pemerintah memasang telepon umum. Selain itu berdiri pula wartel (Warung Telekomunikasi). Warga yang mau telepon bisa mendatangi telepon umum dengan memasukkan koin atau kartu. Bisa juga ke wartel. Biaya telepon di wartel tergantung berapa lama kita berbicara. Nanti akan keluar struk dari alat khusus yang dimiliki wartel.

Dulu namanya telepon putar. Artinya kalau kita hendak menelepon ke nomor 12345, maka kita memutar 1 terlebih dulu mencapai batas akhir. Kemudian disusul 2, 3, 4, dan 5. Namun kemudian muncul telepon pencet atau tekan. Jadi si penelepon menekan 1, 2, 3, 4, dan 5. Dengan demikian waktu untuk menghubungi si penelepon lebih cepat.

Sebelum telepon putar dikenal telepon engkol. Saya tidak mengalami, jadi tidak bisa bercerita. 

Bentuk telepon terus berkembang, misalnya ada yang memiliki extension. Biasanya ini untuk pemakaian di kantor. Akhirnya muncul telepon genggam atau telepon seluler (ponsel). Inilah kelebihan ponsel, bisa dibawa-bawa dan bisa digunakan di mana saja.

Mesin tik dan telepon lambat-laun akan menjadi cerita dari masa lalu. Kedua jenis benda itu tidak akan dikenal oleh generasi milenial sampai generasi z dan generasi-generasi selanjutnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline