Beberapa hari terakhir ini saya lihat banyak twibbon berikut foto diri yang mengatakan "Saya orang Indonesia, menolak pemusnahan wayang kulit". Ada juga dengan kata-kata lain, seperti "Aku Jawa menolak pemusnahan wayang". Pada intinya mereka menolak kalau wayang dikatakan haram.
Mereka memberikan reaksi setelah muncul video seorang penceramah di media sosial. Ceramah itu disampaikan pada 2020, entah mengapa baru muncul setelah jeda dua tahun. Sang penceramah pun segera meminta maaf, juga melalui video.
Masalah wayang memang mencuat beberapa tahun belakangan. Bahkan di Purwakarta, patung tokoh wayang pernah dihancurkan segelintir orang. Padahal, patung itu merupakan ornamen kota. Bisa dibayangkan, berapa banyak uang yang terbuang sia-sia.
Prasasti
Sudah lama, tepatnya pada abad ke-19, wayang disebut J.L.A. Brandes sebagai peninggalan asli milik bangsa Indonesia (lihat Majalah Adiluhung). Menurut Brandes, segala unsur dalam wayang itu tidak dipengaruhi kebudayaan India. Ketika itu di Nusantara masuk kebudayaan bercirikan Hinduisme dan Buddhisme.
Dalam bentuknya yang paling sederhana, pertunjukan wayang sudah dikenal di Nusantara jauh sebelum kedatangan orang-orang Hindu. Pertunjukan itu mulai muncul sekitar zaman Neolitik atau tahun 1500 SM. Ditafsirkan, wayang muncul karena bayangan lukisan manusia dipandang dapat merupakan tontonan yang menghibur. Wayang berarti melihat bayangan (wayangan).
Wayang sebagai kebudayaan tertua asli Indonesia, sering disebut-sebut dalam prasasti. Ada informasi menarik dari Prasasti Wukayana yang dikeluarkan Raja Balitung pada abad ke-9. "Si Galigi memainkan wayang untuk penghormatan kepada para hyang dengan mengambil cerita Bimma Kumara," begitu sebagian isi prasasti.
Prasasti Cane (1021 M) dan Prasasti Patapan (angka tahunnya rusak), menyebutkan istilah awayang. Istilah lain, aringgit, disebutkan oleh Prasasti Turunhyang (1036 M). Dalam masyarakat Jawa kuno, menurut arkeolog A.S. Wibowo (1976), awayang dan aringgit merupakan salah satu golongan yang berprofesi di bidang kesenian wayang.
Yang berbeda, dalam prasasti Ugrasena (896 M) disebutkan beberapa kelompok kesenian, di antaranya parbwayang atau pertunjukan wayang. Setelah adanya akulturasi dari agama Hindu, cerita Ramayana dan Mahabharata mulai populer.