Pada 1983 ketika masih menjadi mahasiswa arkeologi, saya pernah berkunjung ke daerah Condet di Jakarta Timur, bersama rekan Candrian Attahiyat. Ketika itu masih ada terminal bus kota Cililitan. Dari Cililitan tinggal berjalan kaki saja menyusuri Condet, yang terdiri atas tiga kelurahan, yakni Batu Ampar, Kampung Tengah, dan Bale Kambang.
Dulu daerah Condet sangat sejuk. Di kanan kiri jalan banyak tumbuh pepohonan. Salak Condet pernah populer. Sebagai mahasiswa arkeologi, tentu saja yang menjadi perhatian kami adalah tinggalan budaya. Rumah tradisional Betawi, begitu tepatnya.
Cagar budaya Condet
Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin (1966-1977) pernah menetapkan Condet sebagai kawasan cagar budaya karena sebagian besar warga Condet terdiri atas suku Betawi.
Pada awalnya memang kawasan Condet terlindungi. Banyak warga menanam pohon duku dan pohon salak. Duku dan salak itu kemudian dijual di sekitar terminal Cililitan.
Yang menarik, kawasan Condet dihuni banyak warga keturunan Arab. Dengan demikian memperkaya kebudayaan Betawi. Apalagi di sini pernah terdapat banyak rumah tradisional Betawi. Seingat saya, pada 1983 itu saya sempat melihat sekitar sepuluh rumah Betawi, bahkan sempat masuk ke dalam.
Ada beberapa macam rumah Betawi, tentu tergantung status sosial si pemilik. Rumah yang tergolong mewah memiliki jendela bujang atau jendela intip. Jendela bujang bisa digeser-geser membuka dan menutup.
"Selain berfungsi sebagai ventilasi dan jalan cahaya, jendela bujang berfungsi sebagai tempat pertemuan perawan yang punya rumah dengan pemuda yang datang pada malam hari. Si gadis ada di sebelah dalam, sedangkan si pemuda ada di luar, dibatasi jendela berjeruji. Sebelum sampai pada taraf 'ngelancong' yang agak intim, anak perawan yang bersangkutan cukup mengintip dari celah-celahnya," demikian menurut http://encyclopedia.jakarta-tourism.go.id.
Rumah tradisional Betawi terbuat dari kayu. Umumnya berasal dari pohon nangka dan pohon kelapa. Ada juga yang berupa setengah tembok, menunjukkan pengaruh Belanda.