Salah satu dampak sering menulis di koran dan majalah adalah nama kita dikenal oleh banyak orang, termasuk oleh berbagai instansi. Itu yang saya rasakan selama bertahun-tahun. Akibatnya saya sering diminta bantuan untuk menulis buku, baik yang dilakukan secara lelang maupun penunjukan langsung. Menulis secara keroyokan, begitu istilahnya.
Topik dalam buku tentu saja masih berhubungan dengan arkeologi dan museum. Soalnya saya memiliki banyak koleksi buku bertopik itu. Dengan demikian mengurangi hambatan dalam menulis.
Menulis buku
Saya pernah menjadi bagian dari penulisan buku katalog pameran. Menulis buku-buku bacaan umum pernah beberapa kali terlibat sebagai tim penulis. Boleh dibilang buku menggunakan bahasa populer. Jadi hampir tidak ada bedanya dengan menulis di media cetak. Hanya dalam buku, kita melampirkan daftar pustaka. Foto-fotonya pun cukup banyak untuk mendukung bacaan.
Terus terang, kami saling belajar. Bayangkan, tim penulis kadang berasal dari berbagai disiplin ilmu. Beberapa dari mereka pun bergelar akademis tinggi, seperti Master, Doktor, dan Profesor. Saya sendiri sih sebenarnya diberi gelar Prof oleh banyak orang, lengkapnya Prof. Djulianto, APM. Artinya Profesi Djulianto adalah Arkeolog Pekerja Mandiri, hehehe...
Sesuai pengalaman, menulis buku terkadang agak lama. Terlebih kalau bahannya tidak ada dalam koleksi saya. Untuk itu, saya harus mencari di Perpustakaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Perpustakaan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Perpustakaan Nasional, dan Arsip Nasional.
Dalam menulis buku ada jadwal, termasuk penentuan judul buku. Draft topik tertentu kapan selesai, lama penyuntingan berapa lama, batas penyuntingan terakhir, lama membuat tata letak, dan proses cetak dibicarakan dalam rapat. Kami, tim penulis, hanya berbicara masalah penulisan dan penyuntingan. Di luar itu ada tim lain, yakni tim produksi.
Instansi pemerintah
Buku-buku yang kami tulis berasal dari beberapa instansi pemerintah. Karena menggunakan dana APBN atau APBD, buku-buku tersebut tidak diperjualbelikan. Hanya dibagikan kepada instansi tertentu seperti perpustakaan dan sekolah. Kalau ada kelebihan, masyarakat awam bisa mendapatkan buku-buku itu asal datang sendiri. Biasanya buku-buku demikian hanya dicetak sedikit, berkisar 500-1.000 eksemplar per judul.
Hingga saat ini ada sekitar 10 buku yang saya tulis bersama para pakar. Empat di antaranya sebagaimana foto di atas. Buku-buku lainnya antara lain tentang museum tematik, prasasti, dan tinggalan budaya dari kapal tenggelam.