Uang kertas dan uang logam (koin) pecahan Rp 1.000 boleh dibilang hampir tidak ada artinya. Paling-paling bisa dibelanjakan di toko swalayan, tentu saja asalkan berjumlah banyak. Begitu pula pecahan di bawahnya, yakni Rp 100, Rp 200, dan Rp 500. Saya sering belanja di toko swalayan dengan uang receh. "Iya pak boleh, kita buat uang kembalian," kata si kasir.
Sejak 2016, di negara kita beredar pecahan Rp 1000 dalam bentuk uang kertas dan koin (lihat gambar di atas). Saya banyak mendapat uang-uang tersebut sebagai uang kembalian dari toko swalayan. Kalau masih dalam kondisi bagus, biasanya saya sisihkan untuk koleksi.
Kalau dalam jumlah sedikit, memang agak mikir-mikir kalau mau menggunakan uang 1000. Paling-paling saya gunakan untuk top up kartu elektronik di toko swalayan. Biayanya Rp 1.500. Biasanya saya isi Rp 50.000 sampai Rp 100.000. Kartu elektronik ini sering saya gunakan untuk naik TJ, LRT, MRT, dan Commuter Line.
Membeli emas
Nah, bagaimana uang 1000 pada masa lalu? Dulu uang 1000 dikenal sebagai pecahan besar. Pecahan kecil mulai dari Rp 1 sampai Rp 100. Sebagai pecahan besar, banyak barang bisa dibeli dengan uang itu. Sekadar gambaran, pada 1957 harga 1 gram emas 24 karat Rp 67. Berarti dengan selembar, kita bisa mendapatkan sekitar 15 gram. Kalau sekarang harga 1 gram Rp 930.000, maka harganya identik dengan Rp 14 juta. Wow luar biasa.
Buat perbandingan baca tulisan saya [Dulu untuk Membeli Perabot Jati Cukup dengan Lima Lembar Rp 1.000].
Itu masa 1957. Makin ke sana, artinya semakin mundur, tentu lebih bernilai. Sebaliknya makin ke sini, semakin kecil. Pada 1962 muncul pecahan besar Rp 2.500, dikenal sebagai Uang Komodo karena bergambar komodo. Setahun kemudian pada 1963 pemerintah menerbitkan Seri Pekerjaan Tangan I nominal Rp 5.000.
Pecahan Rp 10.000 mulai diterbitkan pada 1964 dalam Seri Pekerjaan Tangan III (warna merah) dan 1965 (warna hijau).