Lihat ke Halaman Asli

Djulianto Susantio

TERVERIFIKASI

Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Nostalgia Masa Kecilku Lewat Foto

Diperbarui: 22 November 2021   15:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto masa kecilku sekitar 1964 bersama adik pertama (Dokpri)

Hati berbunga-bunga rasanya melihat foto-foto masa kecilku. Apalagi foto hitam putih, jadi kelihatan dramatis. Nostalgia lewat foto tentu saja membangkitkan kenangan lama.

Dulu memang foto hitam putih menjadi 'primadona' karena foto berwarna belum 'lahir'. Ketika duduk di kelas nol atau kemudian disebut Taman Kanak-kanak (TK), saya dan kedua adik saya diajak oleh nenek untuk foto bersama. Saya ingat betul namanya Toko Potret Subur di seberang Stasiun Jatinegara. Waktu itu rumah saya di Jalan Bekasi Timur 1, sekitar 200 meter dari Toko Potret Subur.

Saya sekelas dengan anak pemiliknya. Namanya Yayang. Sepulang sekolah Yayang sering bermain dengan saya. Kebetulan kalau pergi dan pulang sekolah ia melewati rumah saya.  

Sebelum pandemi, saya pernah melewati Stasiun Jatinegara. Ternyata Toko Subur sudah tidak ada. Begitu juga toko di sebelahnya, Rawa Bening. Hanya Pasar Batu Akik Rawa Bening sudah berdiri megah.

Saya ke Toko Subur sekitar 1964. Pertama, saya berfoto sendirian. Latarnya Hotel Indonesia. Ketika itu memang Hotel Indonesia baru berdiri. Jadi ikonik sekali. Seingat saya dulu tukang potretnya menggunakan kamera berbentuk kotak. Di bagian belakang ada kain hitam untuk menutupi wajah pembidik supaya cahaya tidak masuk. Kameranya berdiri di atas kaki tinggi.

Kemudian saya berfoto dengan adik pertama. Baru foto-foto itu yang ditemukan.

Saya digendong oleh nenek di halaman dalam rumah (Dokpri)

Foto bayi

Saya pun menemukan foto saat saya bayi. Saya dipangku oleh nenek, ibunya bapak saya. Saya kelihatan ceria yah. Entah siapa yang motret. Tapi yang jelas itu di halaman rumah. Dulu rumah saya masih berlantai tanah. Pagar rumah terbuat dari kayu. Dinding rumah masih memakai bilik atau gedek, anyaman bambu yang berukuran sekitar 2 meter x 2 meter. Sungguh adem karena angin bisa masuk.

Saya digendong oleh tante saya. Terlihat jalanan masih lengang dan rumah-rumah masih berpagar kayu dan bambu, juga belum bertingkat (Dokpri)

Terlihat pula saya sedang digendong oleh tante saya di luar rumah. Dari foto itu kelihatan rumah-rumah masih sederhana. Belum ada rumah tingkat atau loteng. Semua pagar dari kayu atau bambu. Jalanan masih lengang. Setiap rumah memiliki halaman cukup luas sehingga bisa untuk bermain kelereng, misalnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline