Selama ini kita mengenal dua jenis mata uang berdasarkan bahan dasar pembuatan, yakni uang kertas dan uang logam (koin). Dulu malah dikenal uang dari batu, tulang, kacang-kacangan, biji-bijian, dll.
Sebelum Republik Indonesia terbentuk, negara kita terdiri atas berbagai kerajaan atau kesultanan. Kerajaan atau kesultanan ini memiliki mata uang sendiri. Memang itu salah satu ciri 'negara' berdaulat. Buat kita yang hidup pada masa sekarang, mata uang yang dikeluarkan kerajaan atau kesultanan itu tergolong unik.
Uang topi, uang ikan, dan uang petik
Beberapa tahun lalu saya pernah berkunjung ke Museum Kota Tanjungpinang, namanya Museum Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah. Di museum itu saya melihat ada tiga mata uang yang lain dari biasanya.
Uang topi, nah dari nama saja sudah kelihatan unik. Uang topi berbahan dasar nikel. Bentuknya seperti topi, maka disebut uang topi. Bentuk uang topi segiempat dengan bagian atas menonjol. Uang topi menjadi alat tukar lokal di Kerajaan Johor-Riau-Lingga-Pahang sekitar abad ke-17 M.
Mungkin tidak banyak lembaga atau individu yang memiliki uang topi. Bisa saja ada sejumlah individu, terutama yang menggeluti numismatik, memiliki koin seperti ini. Namun tentu saja koleksi mereka untuk konsumsi pribadi atau orang-orang terdekat saja. Bukan untuk kalangan umum seperti halnya museum.
Ada lagi uang ikan, bentuknya seperti tulang ikan. Bahan dasarnya juga nikel. Dulu menjadi alat tukar antara masyarakat setempat di wilayah Kerajaan Melayu yang berpusat di Kota Lama, Hulu Riau, sekitar abad ke-17 M.
Uang unik lainnya disebut uang petik atau uang pohon. Apabila belum digunakan, uang ini berbentuk ranting pohon. Apabila akan digunakan harus dipetik atau dipatahkan satu per satu. Pada salah satu sisi permukaan koin terdapat tulisan Arab Melayu. Uang ini pun menjadi uang lokal yang berlaku pada masa Kerajaan Melayu di Hulu Riau.
Lihat tulisan saya [di sini].