Lihat ke Halaman Asli

Djulianto Susantio

TERVERIFIKASI

Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Kenangan Membeli Buku Murah dari Penerbit Djambatan 38 Tahun Lalu

Diperbarui: 15 Januari 2021   04:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kedua buku ini saya beli pada 1983 (Dokpri)

Ketika kuliah di Seksi Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI), Senat Mahasiswa FSUI sering menyelenggarakan bursa buku murah di Kampus Rawamangun. Sejumlah penerbit dan pedagang buku bekas biasanya diundang ke acara itu.

Tentu saja buku-buku yang diperdagangan berupa buku-buku yang berhubungan dengan keperluan dosen dan mahasiswa. Waktu itu FSUI memiliki lebih dari sepuluh jurusan sastra dan bahasa, ditambah Sejarah dan Arkeologi.

Di kompleks Rawamangun sendiri ada beberapa fakultas milik UI. Selain FSUI, ada FISIP, FH, dan FPsi. Ada juga IKIP Jakarta, nama waktu itu.

Bagian dalam kedua buku (Dokpri)

Honorarium menulis artikel

Biasanya kegiatan bursa buku diumumkan beberapa hari sebelum pelaksanaan kegiatan. Untuk itu, saya sering kali bersiap-siap menyediakan dana. Dulu saya termasuk mahasiswa arkeologi yang rajin membeli buku.

Uang untuk membeli buku saya peroleh dari honorarium menulis artikel di koran atau majalah. Masa 1980-an itu, besaran honorarium menulis artikel Rp10.000 sampai Rp20.000. Lumayanlah untuk kantong mahasiswa. Dalam sebulan saya memperoleh minimal Rp50.000.

Kebetulan waktu itu saya mengikuti kuliah Bahasa Sanskerta. Sebelumnya saya mengikuti kuliah Bahasa Jawa Kuno dan Repertoar Sastra Jawa Kuno. Wow, bukan main sulitnya tata bahasa Sanskerta. Yah seperti bahasa-bahasa asing lain. Beda sekali ketika orang asing belajar Bahasa Indonesia. Mereka bilang cukup mudah.

Contohnya begini: Hari ini saya makan nasi; Besok saya makan nasi; Kemarin saya makan nasi; dan Saya dan teman-teman makan nasi. Kata 'makan' tetap dipakai tanpa mempertimbangkan obyek dan waktu. Lain halnya dengan Bahasa Inggris, misalnya, ada eat, ate, eating, was eating, dsb.

Nah, Bahasa Sanskerta jauh lebih sulit. Itu baru tata bahasa, belum ke aksara.

Untuk itulah saya membeli buku Tatabahasa Sanskerta Ringkas karya Ibu Haryati Soebadio, yang juga dosen di Seksi Arkeologi FSUI. Namun pas saya mengikuti kuliah tersebut, yang mengajar adalah Ibu Rochmah.

Kalangwan, buku lain yang saya beli berisi tulisan tentang sastra Jawa Kuno. Beberapa kisah sastra Jawa Kuno tersebut terpahat pada relief candi. Buku Kalangwan karya P.J. Zoetmulder.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline