Beberapa hari terakhir ini muncul topik hangat yang selalu berulang, tahu dan tempe langka di pasaran. Penyebabnya tidak lain, harga kacang kedelai naik. Hal ini tentu menyulitkan perajin tahu dan tempe. Kalau dipaksakan berproduksi, harga jual akan dipatok lebih tinggi. Kalaupun harga tidak naik, ukuran akan diperkecil. Kalau tidak berproduksi, banyak pekerja akan kehilangan mata pencarian.
Dampak kelangkaan tahu dan tempe dirasakan berbagai kalangan, seperti perajin, pekerja, pedagang, ibu rumah tangga, warteg, hingga pedagang gorengan. Bahkan pedagang keripik tempe atau makanan olahan yang menggunakan bahan baku tempe.
Harga kacang kedelai semakin menaik karena bahan itu berasal dari impor. Menurut perajin tempe, kedelai impor memang lebih bagus untuk membuat tempe. Dari 1 kg kedelai bisa jadi tempe 1,8 kg. Sementara kalau memakai kedelai lokal, 1 kg hanya menghasilkan 1,4 kg tempe. Karena harga yang tidak begitu jauh, maka perajin tempe lebih memilih kedelai impor.
Sebaliknya untuk membuat tahu, kedelai lokal dipandang lebih bagus daripada kedelai impor. Maka tidak menjadi masalah buat para perajin tahu.
Asli Indonesia
Meskipun sama-sama berbahan kacang kedelai, saya coba telusuri soal tempe. Tempe sudah dianggap makanan asli Indonesia, bahkan mendunia dengan nama 'tempeh'. Sebaliknya tahu dipercaya berasal dari Jepang, dengan nama 'tofu'.
Kacang kedelai sendiri mungkin berasal dari Tiongkok. Umurnya sekitar 5.000 tahun sebagaimana analisis pada temuan kacang purba. Namun kemudian AS lah yang memiliki perkebunan kacang kedelai terluas di dunia. Hampir semua impor Indonesia berasal dari AS.
Dari berbagai literatur diketahui penyebutan tempe sudah ada pada Kidung Sri Tanjung yang berasal dari abad ke-13. Kisah tentang kesetiaan seorang istri ini terdapat pada relief Candi Panataran di Jawa Timur. Penyebutan tempe yang lebih jelas terdapat pada Serat Centhini dari abad ke-18.
Dulu tempe adalah makanan kelas bawah di Yogyakarta dan Surakarta. Hanya rakyat jelata yang sering mengolah makanan ini. Tidak heran bila kemudian timbul istilah 'bangsa tempe' atau 'mental tempe' untuk merendahkan bangsa Indonesia.
Kandungan protein dalam tempe sangat besar. Makanan murah ini pula yang mampu memperpanjang hidup para pekerja paksa pada zaman penjajahan. Sejak lama Jepang sudah memproduksi tempe dalam wadah kaleng, bahkan diekspor.
Prasasti