Beruntung saya pernah mengenal bahkan berbincang dengan Pak Teuku Jacob. Beberapa kali beliau mengikuti acara Pertemuan Ilmiah Arkeologi. Maklum saya dan beliau menjadi anggota Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI). Karena merupakan organisasi terbuka, maka IAAI boleh menerima anggota dari disiplin mana saja. Tentu asalkan berhubungan dengan arkeologi.
Pak Jacob termasuk salah satunya. Beliau sebenarnya pakar antropologi ragawi atau ada yang menyebutnya antropologi biologi, bahkan paleoantropologi. Di kalangan arkeolog, beliau dikenal sebagai pakar fosil manusia purba. Era 1970-an dan 1980-an ada tiga pakar yang menggeluti manusia purba, yakni Pak Jacob (antropolog ragawi), Pak Sartono (geolog), dan Pak R.P. Soejono (arkeolog).
Kalau ditanya soal Homo erectus, mereka bertigalah pakarnya. Segala cerita tentang fosil purba itu boleh dibilang 'ngelotok' di otak mereka. Kini ketiganya sudah almarhum dengan gelar akademis tertinggi mereka Profesor.
Paleoantropologi
Pak Jacob ukuran tubuhnya kecil. Saya beberapa kali jalan berdampingan dengan beliau. Sesuai namanya, memang beliau orang Aceh. Lahir pada 6 Desember 1929 dan wafat pada 17 Oktober 2007.
Biografi beliau pernah ditulis panjang lebar oleh Pak Rusyad Adi Suriyanto pada buku 3 Begawan (lihat foto di atas). Buku itu diterbitkan oleh Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair pada 2012.
Menurut Pak Rusyad, Pak Jacob pernah menyebut paleoantropologi adalah ilmu manusia purba. Dalam arti luas, ilmu ini meliputi manusia, karya, dan lingkungannya. Dalam arti sempit, ilmu ini mempelajari evolusi dan variasi biologis manusia purba (early men). Ilmu ini juga dapat meliputi kajian tentang manusia kuno (ancient men), sejak akhir Pleistosen hingga beberapa ratus tahun yang lalu.
"Tujuan paleoantropologi adalah mengetahui kehidupan biokultural manusia sejak kemunculannya di bumi, evolusinya melalui masa dan wilayah distribusinya selama dan seluas mungkin. Nusantara telah dihuni oleh manusia purba dan kuno dari masa sekitar 1,9 juta tahun yang lalu; oleh karena itu, Indonesia dapat menjadi miniatur untuk mempelajari evolusi manusia dan evolusi ekosistem manusia," demikian Pak Rusyad.
Bertutur
Menurut Pak Jacob, hasil pertanggalan temuan Homo erectus Jawa (Indonesia) bisa mencapai 1,9 juta tahun yang lalu. Namun hal ini diragukan banyak ilmuwan paleontologi/paleoantropologi/arkeologi prasejarah Barat. Mereka berargumentasi bahwa tidak mungkin hominid dapat muncul dan hidup dari kawasan periferi dan kuldesak benua dengan umur kepurbaan yang setua itu. Pak Jacob menegaskan bahwa evolusi hominid itu tidak melulu di daratan benua saja. Evolusi hominid itu bisa terjadi di daratan mana pun, apakah itu benua atau kepulauan, selama ditunjang oleh ESA (energy, sustainable & area).
Keraguan banyak ilmuwan paleontologi/paleoantropologi/arkeologi prasejarah Barat lain yang sanggup dijelaskan dengan argumentasi jernih oleh Pak Jacob, antara lain tentang asal-usul bertutur dan kanibalisme pada Homo erectus Jawa. Petunjuk Homo erectus mampu bertutur hanya berupa bukti tengkorak fosilnya yang relatif fragmenter dan tidak lengkap. Banyak fosil tengkorak Homo erectus Jawa yang sudah kehilangan basisnya karena proses tafonomisnya.