Modernisasi selalu menggerus yang lama. Berbagai rumah tradisional atau rumah adat, salah satu contohnya. Biasanya rumah tradisional terbuat dari kayu-kayu berkualitas. Namun karena lahan penanaman kayu terdesak modernisasi, rumah tradisional pun menghilang. Di Sumatera Selatan, sejak lama kita sulit menyaksikan rumah limas. Paling-paling generasi masa kini dan generasi mendatang hanya bisa menyaksikan dokumentasi foto dan tulisan.
Rumah limas di Palembang juga menjadi 'korban' modernisasi. Untungnya, foto rumah limas bisa disaksikan pada uang kertas nominal Rp 10.000 yang dikeluarkan pada 2005. Rumah limas asli bisa disaksikan di Museum Balaputra Dewa di Jalan Srijaya, Palembang. Museum memang menjadi lembaga pelestari. Benda-benda atau barang-barang yang sudah langka atau jarang ada di masyarakat, biasanya ada di dalam museum.
Rumah limas terbuat dari kayu. Bentuknya seperti rumah panggung. Ada filosofi mendalam pada rumah itu. Rumah limas di Museum Balaputera Dewa dibuat pada 1830. Semula rumah itu berada di tepian Sungai Musi, namun kemudian beberapa kali pindah lokasi. Barulah rumah limas aman berada di lokasi sekarang.
Museum terbesar
Museum Negeri Provinsi Sumatera Selatan, begitulah nama yang disandang Museum Balaputra Dewa. Nama ini mengingatkan kita pada Raja Sriwijaya yang berkuasa pada abad ke-9. Museum Balaputra Dewa diresmikan pada 5 November 1984.
Museum Balaputra Dewa merupakan museum terbesar di Sumatera Selatan. Luasnya lebih dari 23.000 meter persegi. Sebagai museum provinsi, Museum Balaputra Dewa termasuk kategori museum umum karena berbagai koleksi ada di sini. Dimulai dari masa prasejarah hingga masa modern.
Ada koleksi fosil dan ada koleksi keramik. Ada juga koleksi numismatik dan pakaian tradisional. Tentunya koleksi dari masa Kerajaan Sriwijaya banyak di sini. Begitulah kalau museum umum. Beragam koleksi bisa dilihat di sana.
Selain rumah limas, koleksi maskot di museum itu adalah batu gajah. Berupa pahatan gajah dan manusia pada sebuah batu tunggal besar. Koleksi itu ditemukan di Pagaralam dan dibawa ke Palembang sekitar 1930. Tradisi megalit (batu besar) dari Pasemah dan Pagaralam, memang amat dikenal di dunia arkeologi. Betapa terlihat keterampilan nenek moyang kita sudah tinggi.
Pada 2014 saya pernah ke Museum Balaputra Dewa dipandu oleh Pak Chandra. Ketika itu saya lihat Museum Balaputra Dewa menampung berbagai koleksi milik Museum Tekstil Palembang yang akan berganti pemilik. Entah bagaimana nasib Museum Tekstil sekarang.
Setiap 12 Oktober kita merayakan Hari Museum Indonesia. Yuk kita mengagumi karya dan prestasi nenek moyang kita pada setiap museum di Nusantara tercinta ini.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H