Di Indonesia banyak ditemukan prasasti batu dan prasasti logam. Umumnya prasasti berasal dari masa abad ke-5 hingga ke-15. Aksara dan bahasa yang digunakan ada beberapa macam, antara lain Dewanagari, Palawa, Sansekerta, Melayu Kuno, Jawa Kuno, Bali Kuno, dan Sunda Kuno. Saat ini bahasa-bahasa tersebut sudah menjadi bahasa mati.
Dari banyak prasasti yang sampai kepada kita, sebagian besar sudah dialihaksarakan ke dalam aksara Latin, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, ditafsirkan, dan dibahas. Sebagian kecil belum ditangani secara lengkap karena sejumlah prasasti berada dalam kondisi aus, rusak, bahkan aksaranya hilang.
Banyak informasi
Prasasti banyak memuat informasi sesuai zaman prasasti tersebut ditulis. Kalau dianggap belum lengkap, sering kali harus ditambah dengan informasi dari sumber sezaman, seperti kronik Tiongkok dan relief candi. Yang jelas, arkeolog yang mendalami epigrafi (ilmu yang mempelajari prasasti) mempunyai cara tertentu agar informasi tersebut berbicara.
Sepanjang analisis yang dilakukan para epigraf sejak puluhan tahun lalu, banyak informasi sosial budaya terdapat dalam prasasti. Ada tentang pajak dan perjudian, ada pula tentang kejahatan dan pelacuran. Belum lagi hal-hal lain, seperti orang asing, perdagangan, kesenian, dan pakaian.
Pada prasasti, sebagai contoh, disebutkan istilah tuha judi atau juru judi (pengawas perjudian) dan juru jalir (pengawas pelacuran). Istilah tersebut disebutkan sepintas bersama petugas kerajaan seperti petugas pajak dan petugas pengadilan.
Sumber-sumber kuno yang mengungkapkan juru judi dan juru jalir antara lain adalah Prasasti Kuti (840 M), Kancana (860 M), Waharu I (873 M), Barsahan (908 M), Kaladi (909 M), Sugih Manek (915 M), Sangguran (928 M), Cane (1021 M), dan Hantang (1135 M). Secara tersirat dalam prasasti disebutkan juga masalah pembegalan dan mabuk-mabukan.
Pembegalan
Tindak kriminal yang paling banyak diungkapkan prasasti, terutama dari zaman Mataram Hindu, adalah pembegalan dan pembunuhan. Epigraf Boechari sempat menafsirkan premanisme dari Prasasti Balingawan (891 M). "Selama beberapa waktu rakyat desa Balingawan selalu merasa resah karena terlalu sering membayar denda atas rah kasawur (perkelahian berdarah) dan wanke kabunan (mayat yang terkena embun). Maksudnya suatu pembunuhan yang terjadi di malam hari kemudian mayatnya dibuang sehingga terkena embun di pagi hari," begitu tulis Boechari.
Berbagai jenis kejahatan umumnya terdapat dalam bagian prasasti yang disebut sukhaduhkha, kira-kira berarti segala perbuatan yang buruk dan yang baik dalam masyarakat. Misalnya wakcapala (memaki orang lain), hastacapala (baku hantam), mamuk (mengamuk membabi buta), dan amungpang (merampas, merampok, memerkosa).
Lain lagi kisah dari Prasasti Kaladi (909 M). Disebutkan oleh Boechari, adanya hutan arangan yang memisahkan desa Gayam dan Pyapya sehingga penduduk kedua desa menjadi ketakutan. Soalnya warga desa senantiasa mendapat serangan dari Mariwung yang membuat para pedagang dan penangkap ikan merasa resah dan khawatir akan keselamatan mereka siang dan malam.