Setelah tentara Jepang menguasai Hindia-Belanda, tindakan moneter pertama yang mereka lakukan adalah melikuidasi semua bank asing dan mewajibkan mereka menyerahkan semua aset.
Likuidasi itu dilaksanakan pada 20 Oktober 1942. Karena itu tugas De Javasche Bank sebagai bank sirkulasi, diganti oleh Nanpo Kaihatsu Ginko atau Perbendaharaan Untuk Kemajuan Wilayah Selatan.
Uang yang diedarkan oleh penguasa militer Jepang sering disebut Japanese Invasion Money (JIM). Ketika itu wilayah taklukan Jepang adalah Burma (kode uang B), Malaya (M), Philippines (P), Kepulauan Pasifik-Oseania (O), dan Hindia-Belanda (S).
Uniknya hanya Hindia-Belanda yang di luar inisial negara. Lalu apa makna S itu? Ada yang berpendapat Sumatra, ada pula yang bilang Southern. Begitu info dari buku Oeang Noesantara, terkarang oleh Uno. Nah, kini tugas peneliti untuk menemukan makna S itu.
Soal uang pendudukan Jepang saya pernah menulis [di sini] dan [di situ].
Emisi pertama
Uang pendudukan Jepang emisi pertama disebut De Japansche Regeering. Semuanya berupa uang kertas, yakni nominal 1 Cent, 5 Cent, 10 Cent, Gulden, 1 Gulden, 5 Gulden, dan 10 Gulden.
Ketujuh nominal dicetak oleh Djakarta Insiatsu Kodjo. Pasca-kemerdekaan uang De Japansche Regeering masih berlaku di negara kita. Baru ditarik dari peredaran pada 30 Oktober 1946, saat pertama kali diumumkan berlakunya ORI (Oeang Repoeblik Indonesia). Inilah awal ditetapkannya Hari Keuangan 30 Oktober.
Pada kesempatan ini saya ingin membahas terlebih dulu uang 1 Cent. Uang ini berukuran 45 mm x 95 mm. Berukuran cukup kecil dibandingkan uang pada masa sekarang.
Uang ini sudah memiliki nomor seri tapi bukan angka melainkan huruf. Para kolektor uang atau numismatis mengidentifikasi ada dua nomor seri berupa dua huruf (SA hingga SZ) dan huruf pecahan (S/AA hingga S/GX). Nominalnya pun cukup kecil karena biasanya nominal kecil berupa uang logam atau koin.
Karena hanya berupa huruf, pasti ada nomor ganda, artinya lebih dari nomor sama. Yang unik, ada pula uang 1 Cent dengan cap tindih Mihon. Harga di pasaran cukup tinggi sehingga sering kali dipalsukan. Demikian info lain dari buku Oeang Noesantara. Buku ini pantas jadi referensi karena ditulis oleh numismatis senior, Uno.