Lihat ke Halaman Asli

Djulianto Susantio

TERVERIFIKASI

Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Menulis di Media Cetak Butuh Kesabaran, Menulis di Kompasiana Butuh Ketelitian

Diperbarui: 27 Agustus 2020   17:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan saya di Majalah Intisari (koleksi pribadi)

Banyak orang bertanya kepada saya, apa bedanya menulis di koran dan majalah? Lalu apa bedanya menulis di media cetak dan media daring?

Pertama, saya ingin menjawab soal menulis di koran dan majalah.

Sebenarnya karena sama-sama media cetak, tidak ada perbedaan mendasar. Hanya setiap media cetak memiliki gaya bahasa masing-masing. Jadi, gaya bahasa di Kompas berbeda dengan di Koran Tempo dan Intisari, sebagai misal. Belum lagi dengan media-media lain.

Jika kita sering menulis di Kompas, lalu dengan gaya bahasa yang sama dikirim ke Intisari, jangan harap tulisan tersebut lolos seleksi. Jelas, gaya bahasa Kompas berbeda dengan Intisari. Namun, kalau tulisan tersebut dipandang bagus, biasanya redaksi akan menulis ulang disesuaikan dengan gaya bahasa media tersebut. Namanya rewrite.

Sekadar gambaran, menulis di media cetak butuh kesabaran. Soalnya redaksi menerima banyak kiriman tulisan dari pembaca. Jadi tulisan kita antre di meja redaksi. Pengalaman saya, kalau menulis di koran, pernah nunggu giliran sampai satu bulan. Kalau tulisan kita pas sesuai momen, satu minggu pun sudah dimuat. Lain halnya kalau menunggu giliran pada majalah bulanan. Pernah menunggu sampai enam bulan loh.

Namun pernah pula tulisan saya dimuat keesokan harinya atau 1-2 hari kemudian. Ini karena redaksi meminta tulisan kepada saya. Tentu yang sesuai topik hangat ketika itu.

Memang, menulis di media cetak relatif sulit. Maklum media cetak memberikan honorarium yang lumayan. Keterbatasan tempat menjadi alasan utama. Untuk menulis di media cetak pun, kita perlu paham bahasa baku atau bahasa formal. Misalnya sesuai PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia). Jangan harap kalau Bahasa Indonesia kita 'belepotan', maka tulisan kita akan masuk koran. Redaktur pasti bingung menyunting tulisan dengan bahasa 'amburadul'.

Tulisan saya di Kompas/atas dan Koran Tempo/bawah (koleksi pribadi)

Daring

Dengan semakin surutnya keberadaan media cetak---akibat perkembangan internet---maka sebagian media cetak mulai digantikan media daring. Artinya masih ada penyuntingan dan honorarium. Dalam media daring 'waktu tunggu' sangat cepat.  Paling lama satu hari sudah dimuat.

Kalau mau cepat dimuat, tidak ada seleksi tulisan, dan tidak ada penyuntingan kita harus menggunakan blog pribadi (tidak berbayar), laman pribadi (berbayar), dan blog publik (ada yang gratis, ada yang berbayar, bahkan dibayar). Sebagai contoh Kompasiana ini.

Dalam media daring seperti ini, bahasa yang digunakan bukan bahasa formal (bahasa baku), melainkan bahasa nonformal (bahasa gaul atau bahasa sehari-hari). Lihat saja banyak tulisan salah ejaan (contohnya ditempat, bukan di tempat). Lalu ada lagi salah tik atau typo menurut generasi milenial. Untuk itu menulis di Kompasiana butuh ketelitian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline