Lihat ke Halaman Asli

Djulianto Susantio

TERVERIFIKASI

Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Pada Uang Kertas De Javasche Bank, UU Pemalsuan Uang Ditulis dalam Empat Bahasa

Diperbarui: 14 Agustus 2020   01:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Undang-undang pemalsuan uang dalam empat bahasa (Dokpri)

Pemalsuan uang sudah terjadi sejak lama di seluruh dunia. Ada dua kepentingan terhadap pemalsuan uang, yakni politik dan ekonomi. Untuk kepentingan politik, misalnya, dilakukan kaum pemberontak untuk menggoyang pemerintahan yang sah. Contoh untuk kepentingan ekonomi, oknum atau sekelompok orang ingin mencari keuntungan finansial sebesar-besarnya.

Di Indonesia, pemalsuan uang juga sudah berlangsung lama. Bahkan terjadi sebelum proklamasi 1945. Adanya pemalsuan atau ancaman buat pemalsu uang, biasanya dicantumkan pada bagian belakang uang kertas. Tentu saja pemalsu akan dikenakan hukum pidana berdasarkan undang-undang yang berlaku.

Puncak pemalsuan di Indonesia terjadi masa 1947-1949. Pada masa itu terjadi agresi militer I dan II oleh Belanda. Karena ada blokade di mana-mana, maka pemerintah yang sah memberikan wewenang kepada daerah di Jawa dan Sumatera untuk mencetak uang sendiri. Uang darurat itu disebut ORIDA, Oeang Repoeblik Indonesia Daerah. ORIDA memiliki berbagai nama seperti coupon penukaran, mandat, mandat istimewa, dan bon.

ORIDA dicetak seadanya, antara lain menggunakan kertas sederhana dengan kualitas cetak amat minim. Ada yang dicetak satu muka, ada pula dua muka. Akibat berkualitas seadanya, ORIDA mudah dipalsukan.

Undang-undang pemalsuan uang pada uang Bank Indonesia (Dokpri)

Dulu pihak musuh melakukan pemalsuan sebagai perang urat saraf terhadap pemerintahan RI. Dengan beredarnya uang palsu, tentu saja ada kebingungan di antara masyarakat. Mana uang palsu dan mana uang asli sulit dibedakan. Pihak musuh berharap akan terjadi kekacauan. Momen inilah yang dimanfaatkan musuh untuk merebut kembali pemerintahan.

Di kalangan kolektor uang atau numismatis, uang palsu yang dikeluarkan pada masa lampau disebut dengan istilah old fake atau palsu lama. Sebaliknya, mata uang palsu yang dibuat untuk kepentingan ekonomi disebut new fake atau palsu baru. Banyak numismatis mengoleksi uang palsu sebagai bahan pembelajaran.  

Undang-undang pemalsuan uang pada uang emisi 1964 (Dokpri)

Undang-undang
Di Nusantara pernah berlaku uang kertas Nederlandsch-Indie, pendudukan Jepang, dan De Javasche Bank. Pada bagian belakang terdapat undang-undang tentang pemalsuan uang. Malah pada uang De Javasche Bank, undang-undang seperti itu ditulis dalam empat bahasa, yakni Arab, Jawa, Mandarin, dan Belanda. Bahasa Melayu rupanya belum populer.

Pada masa berikutnya, yakni pada uang kertas bertuliskan Republik Indonesia dan Bank Indonesia, peringatan untuk pemalsu uang tetap dituliskan pada bagian belakang dengan huruf kecil. Namun masyarakat tidak pernah jera. Pemalsuan masih tetap ada, terutama dengan hadirnya teknologi digital dan printer canggih.

Bunyi undang-undang pemalsuan (Dokpri)

Banyaknya pemalsuan uang juga menghasilkan teknologi baru berupa alat pendeteksi uang dengan sinar ultra-violet. Pemalsu pun tetap menggunakan berbagai cara. Bahkan sudah berupa sindikat pemalsuan.

Selama bernilai ekonomis, dipastikan pemalsuan uang masih tetap ada. Ini seperti halnya SMS minta pulsa atau SMS mendapatkan hadiah. Masih banyak masyarakat tetap terkecoh. Untuk itu kita harus waspada.***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline