Lihat ke Halaman Asli

Djulianto Susantio

TERVERIFIKASI

Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Menulis dengan Bahasa Baku dan Bahasa Gaul

Diperbarui: 4 Agustus 2020   11:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kenang-kenangan mendapat Anugerah Jurnalistik 2017 (Dokpri)

Menulis di blog publik macam Kompasiana, blog pribadi, dan media sosial (twitter, instagram, facebook) pasti cepat tayang. Begitu pula tulisan para jurnalis daring dalam beberapa laman atau situs. Sejak berkembangnya dunia digital, memang banyak media cetak memperkaya jaringan dengan membuat laman/situs.

Boleh dibilang kini media cetak atau media konvensional hanya milik generasi kolonial. Sebaliknya generasi milenial tak satu pun menyentuh media cetak. Dunia mereka adalah dunia digital. Segala informasi mereka dapat atau cari melalui telepon genggam mereka.

Dampaknya, banyak media cetak kemudian mati. Kini banyak lagi yang sekarat. Sebelumnya, tentu mereka terlebih dulu beralih ke digital. Bayangkan ketika harus menerbitkan media cetak, berapa banyak biaya yang harus keluar untuk ongkos cetak dan distribusi.

Memang hingga kini banyak media cetak masih terbit dalam bentuk konvensional. Namun mereka mengimbanginya dengan membuat daring. Jadi setiap tulisan yang ada di media cetak, masuk juga ke media daring. Selain itu ada juga yang sedari awal sudah membuat situs, berisi berita dan informasi lain, termasuk tulisan masyarakat.

Maklum, jurnalisme warga sudah berkembang sejak beberapa tahun lalu. Setiap orang adalah jurnalis, meskipun bersifat amatir, begitu istilahnya. Bahkan banyak jurnalis profesional mengembangkan tulisan lewat informasi warga di media sosial.

Tulisan-tulisan saya di beberapa media cetak (Dokpri)

Bahasa baku dan bahasa gaul

Menulis di media cetak atau media daring amat berbeda dengan menulis di blog publik macam Kompasiana, blog pribadi, dan media sosial. Kita lihat aturan pada media (cetak dan daring), antara lain menggunakan bahasa formal atau bahasa baku sesuai PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia) dan redaksi melakukan penyuntingan. 

Karena itu setiap tulisan yang kita kirim belum tentu dimuat oleh redaksi masing-masing media. Bahkan harus melewati beberapa tahap penyeleksian seperti di Kompas. Dan lagi ada honorarium yang lumayan besar.

Sebaliknya blog (publik, pribadi, media sosial) menggunakan bahasa nonformal atau bahasa gaul, singkatnya bahasa sehari-hari. Karena bisa langsung posting tulisan, maka tidak ada penyuntingan. Paling-paling judul yang terlalu panjang, diperpendek oleh editor. Kecuali pada media sosial, tanpa suntingan sama sekali.

Menulis di media dan blog memang ada kepuasaan masing-masing. Seperti saya, oleh banyak orang dikenal sebagai arkeolog 'hebat', 'ahli' museum, dan 'pakar' numismatik karena sudah menulis ketiga topik itu di media cetak sejak 1980-an. 

Padahal saya tidak pernah bekerja di instansi arkeologi atau museum. Koleksi numismatik pun cuma punya seadanya. Itu pun tidak ada yang berharga mahal-mahal amat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline