Lihat ke Halaman Asli

Djulianto Susantio

TERVERIFIKASI

Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Berbagi Tulisan Keilmuan Lewat Kompasiana

Diperbarui: 21 Juli 2020   13:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Logo Kompasiana (Dok. Kompasiana)

Sebenarnya kalau dihitung secara rata-rata, yakni jumlah pengakses dibagi jumlah artikel, pencapaian saya cukup tinggi. Hingga minggu lalu rata-rata 1.681, dengan rincian jumlah artikel 647 dan jumlah pengakses 1.086.000. Awal 2019 malah pernah mencapai rata-rata lebih dari 2.000. Entah mengapa selanjutnya pengakses tulisan saya menurun.

Saya mulai menulis di Kompasiana sejak 14 Agustus 2016. Sebelumnya saya menulis di media cetak, seperti Kompas, Koran Tempo, Intisari, dan beberapa media cetak lain. Pokoknya sejak 1980-an banyak media cetak di Jakarta pernah saya coba.

Lalu apa bedanya? Menulis di Kompasiana tergolong lebih ringan karena boleh menggunakan bahasa nonformal atau bahasa gaul. 

Bandingkan dengan menulis di media cetak dengan bahasa formal atau bahasa baku. Tulisan kita pun belum tentu dimuat redaksi. Kalaupun dimuat pasti disunting oleh redaksi. 

Karena itu tulisan di media cetak memenuhi PUEBI, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Beda dengan di Kompasiana yang tanpa suntingan sehingga saya lihat banyak penulis mengabaikan tanda baca, istilah, dan sebagainya.  

Meskipun pencapaian saya cukup tinggi, namun nilai saya masih relatif rendah dibandingkan Kompasianer lain. Saya perhatikan, saya memang kurang berinteraksi. Saya jarang berkomentar di akun Kompasianer lain. Akibatnya tentu saja Kompasianer lain pun jarang berkomentar di akun saya. Selain itu saya hanya sedikit memiliki follower dan following.

Beberapa tulisan saya di koran Kompas (Dokpri)

Berbagi pengetahuan
Terus terang, saya menulis untuk berbagi pengetahuan. Banyak Kompasianer berbagi masalah keseharian, seperti soal kantong plastik, harga yang melambung, kesehatan, ekonomi, politik, dan olahraga. 

Saya agak berbeda karena berbagi masalah keilmuan. Mengingat latar saya adalah arkeologi, tentu masalah sejarah, purbakala, museum, dan budaya yang saya bagikan. Karena saya hobi mengumpulkan uang kuno, masalah numismatik juga saya bagikan. Saya hobi astrologi, palmistri, dan sebagainya. Itu pula yang saya bagikan.

Belum lama ini saya menulis soal koin kelapa sawit yang sempat viral.  Banyak penawaran pada toko-toko daring. "Dijual koin kelapa sawit Rp 5 juta," begitu yang saya baca. Bahkan ada yang menawarkan lebih dari itu. 

Lewat tulisan, saya bilang harga demikian itu terlalu tinggi. Banyak penawaran tapi gak ada yang beli. Mereka cuma "menjual", bukan "terjual". Tulisan saya kemudian banyak dikutip media daring.  Itu cukup membanggakan.

Dulu saya pernah menulis koin dari situs Gunung Padang yang dianggap berumur ribuan tahun. Padahal koin Cent tembaga itu berasal dari masa 1855-1945. Ternyata angka tahunnya tertutup, sementara umur lapisan tanah diperkirakan ribuan tahun. Jadi supaya analisisnya cepat, koin dianggap seumur dengan lapisan tanah. Jelas keliru besar membandingkan benda alam dengan benda budaya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline