Bentuk karya sastra Sunda boleh dibilang amat beragam. Sebelum dikenalnya bentuk penulisan prosa, hampir semua bentuk tulisan disusun dalam bentuk wawacan. Wawasan berupa semacam puisi yang ditulis menggunakan aturan pupuh. Praktisi sastra Sunda, Ajip Rosidi, mengatakan wawacan adalah cerita panjang atau sejenis hikayat yang ditulis dalam bentuk puisi yang dinamakan dangding. Dangding adalah ikatan puisi yang sudah tertentu untuk melukiskan hal-hal yang sudah tertentu pula. Danding terdiri dari beberapa buah bentuk puisi yang disebut pupuh.
Soal wawacan, itulah yang didiskusikan dalam Diskusi Naskah Nusantara ke-19, 3 Desember 2019 di Perpustakaan Nasional. Diskusi diselenggarakan tiap bulan oleh Manassa atau Masyarakat Pernaskahan Nusantara. Berbicara dalam diskusi akhir tahun itu adalah Dr. Munawar Holil, pengajar FIB UI dan juga Ketua Manassa.
Kang Mumu, begitulah panggilan akrabnya, menyajikan topik "Teks, Naskah, dan Skriptorium Wawacan: Studi Kasus Wawacan Samun". "Genre wawacan bukanlah genre asli Sunda. Genre ini berasal dari kesusastraan Jawa yang masuk ke wilayah Sunda melalui Keresidenan Priangan melalui jalur kabupaten dan pesantren," begitu kata Kang Mumu. Mengutip Ajip Rosidi, Kang Mumu mengatakan, wawacan yang masuk melalui jalur kabupaten umumnya menggunakan aksara Cacarakan, sementara yang masuk melalui jalur pesantren memakai aksara Pegon atau Arab gundul. Aksara cacarakan disebut juga aksara sunda-jawa atau aksara sunda-mataram. Aksara ini merupakan adopsi dari aksara hanacaraka dengan menghilangkan aksara tha dan dha.
Leiden
Naskah atau manuskrip genre wawacan banyak dikoleksi institusi terkait di dalam negeri dan di luar negeri. Di Perpustakaan Nasional, dari 404 naskah Sunda, terdapat 72 naskah yang berisi teks bergenre wawacan. Jumlah yang lebih banyak dimiliki Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Dari 789 naskah Sunda, terdapat 114 naskah bergenre wawacan. Di EFEO, lembaga Prancis untuk Timur Jauh, di Indonesia, Kang Mumu menemukan tiga fotokopian tentang wawacan. "Kalau ditelusuri ke masyarakat, pasti masih banyak lagi naskah Sunda," katanya.
Cerita dalam genre wawacan tidaklah homogen. Ada yang berupa imajinasi belaka, ada pula teks wawacan yang bersumber dari peristiwa aktual.
Teks Wawacan Samun, menurut Kang Mumu, terdapat dalam lima buah naskah. Nama-nama tokoh yang dikisahkan antara lain kakak beradik Gandawerdaya dan Gandasari. Rupanya pada masa itu teks Wawacan Samun cukup populer. Hal ini dapat dilihat dari persebaran tempat penyalinan dari tiga wilayah: Sukabumi, Bandung, dan Kadipaten.
Beberapa naskah pernah digunakan oleh penduduk setempat untuk pertunjukan tradisi lisan beluk (Sumedang) dan gaok (Majalengka). Sayang sampai kini keberadaan keempat naskah tersebut tidak diketahui lagi.
Contoh terjemahan teks Wawacan Samun
- Saya memohon maaf,
- Kepada para kerabat,
- Yang meminjam wawacan.
- Kalau meminjam tidak dilarang,
- Hanya supaya ada pemasukan,
- Saya jangan rugi (untuk) upah,
- Kerusakan wawacan ini.
Kegiatan diskusi dihadiri oleh beberapa mahasiswa spesialisasi filologi. Bahkan beberapa calon doktor dan seorang antropolog, Prof. Amri Marzali.