Ketika duduk di SD pada 1966-1971 saya paling ingat memakai buku Cerdas Tangkas (Berhitung) dan Bahasaku (Bahasa Indonesia). Kedua buku itu bisa menurun kepada kedua adik saya. Dulu rupanya belum banyak penerbit buku pelajaran. Saya lupa nama penerbit kedua buku itu.
Ketika duduk di SMP saya memakai buku terbitan Pradnya Paramita, yang kadang ditulis Pradnyaparamita. Kadang pada buku ditulis Penerbitan Negara Pradnya Paramita. Rupanya penerbit itu kepunyaan pemerintah.
Saya cari data kapan penerbit Pradnya Paramita berdiri. Namun di internet dan tanya sana-sini masih belum ketemu. Yang saya ingat Pradnya Paramita berdiri setelah proklamasi 1945. Saya masih memiliki beberapa buku terbitan Pradnya Paramita. Maklum, ayah saya dan tante saya pernah berprofesi sebagai guru.
Dalam salah satu buku saya menemukan tahun 1964 dengan alamat Jalan Kebon Sirih. Pada buku lain saya lihat tulisan 1965 dengan alamat Jalan Teuku Umar. Mungkin pada awalnya Pradnya Paramita berkantor di Jalan Kebon Sirih lalu pindah ke Jalan Teuku Umar.
Selama bertahun-tahun buku-buku pelajaran Pradnya Paramita dipakai hampir di semua sekolah, dari tingkat SD sampai SMA. Juga pada perguruan tinggi. Kemungkinan besar, buku-buku pelajaran itu merupakan terjemahan dari bahasa Belanda. Saya paling ingat penulis buku Ilmu Ukur bernama Alders.
Sastra
Ketika sekolah, saya juga sering membaca buku-buku bacaan atau sastra. Penerbitnya kebanyakan Balai Pustaka. Dalam dunia kesusastraan, nama Balai Pustaka memang amat dikenal. Kelompok sastrawan pertama dikenal sebagai Angkatan Balai Pustaka. Nama-nama Marah Rusli, Merari Siregar, Sutan Takdir Alisjahbana, dan Nur St. Iskandar sangat lekat dalam ingatan. Seperti halnya Pradnya Paramita, Penerbit Balai Pustaka juga kepunyaan pemerintah. Penerbit Balai Pustaka muncul lebih dulu dari Pradnya Paramita.
Lambat-laun mulai muncul penerbit-penerbit swasta. Memang kalau mau maju perlu ada kompetitor. Kini tinggal masyarakat saja yang memilih. Penulis-penulis dari negeri sendiri pun bermunculan.
Terakhir saya dengar terjadi kemunduran pada Pradnya Paramita. Maklum, penerbit-penerbit swasta sudah mengambil alih buku-buku pelajaran. Maka kemudian penerbit itu dijadikan BUMN (Badan Usaha Milik Negara).
Pantas saja, saya tidak menemukan lagi buku-buku Pradnya Paramita. Paling akhir saya dengar Pradnya Paramita dilebur ke dalam Balai Pustaka. Saya pernah sekali ke gedung Balai Pustaka di Jalan Bunga, Jakarta Timur. Gedungnya megah. Dulu pada 1970-an saya pernah ke gedung Balai Pustaka di dekat Lapangan Banteng.
Meskipun gedungnya megah, saya belum dengar Balai Pustaka menerbitkan buku-buku pelajaran atau umum. Kecuali buku babon Sejarah Nasional Indonesia 6 jilid. Paling-paling mencetak ulang buku-buku lama, yang hak ciptanya memang masih pada Balai Pustaka. Kita harus mempertahankan Balai Pustaka karena kiprahnya sangat besar bagi kecerdasan bangsa. Kini Pradnya Paramita tinggal nama. Semoga Balai Pustaka bertahan hingga beberapa generasi.