Lihat ke Halaman Asli

Djulianto Susantio

TERVERIFIKASI

Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Penerbit Buku Idealis Mati, Kapan Kita Bisa Cerdas dan Pintar?

Diperbarui: 25 Agustus 2019   09:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buku-buku terbitan Pradnja Paramita (Dokpri)

Membahas soal buku, maka tidak lepas dari peran penerbit. Penerbit merupakan lembaga yang memproduksi buku sehingga bisa dinikmati pembaca. Bisa dibilang kecerdasan suatu bangsa ditentukan oleh penerbit-penerbit yang ada di dalamnya.

Kemajuan suatu negara salah satunya dinilai dari masyarakatnya yang pandai dan cerdas. Ironis, di era digital seperti sekarang, buku dalam bentuk fisik semakin dijauhi. Rata-rata generasi sekarang lebih menyukai e-book, PDF, atau bentuk soft file.

Meskipun begitu, buku cetak masih cukup diminati. Terbukti banyak pedagang buku baru dan buku lama atau bekas, memiliki akun di media sosial. Perkembangan zaman dan teknologi memang membuat banyak perubahan. Yang paling kentara, banyak penerbit tinggal nama. Ada beberapa sebab yang membuat mereka mati. 

Pertama, karena mereka bersifat idealisme untuk mencerdaskan bangsa. Kedua, karena munculnya sejumlah penerbit besar, tentunya juga dengan modal besar. Ketiga, karena kemajuan dunia digital yang serba cepat dan praktis.

Buku-buku Penerbit Djambatan (Dokpri)

Masa penjajahan

Dunia penerbitan Indonesia sebenarnya sudah ada sejak masa penjajahan. Kalau melihat buku tertua, mungkin dimulai pada abad ke-17. Yang pertama diterbitkan pamflet, majalah, dan koran. 

Pada akhir abad ke-19, terutama di Jawa, tumbuh penerbit milik orang Tionghoa dan Indo-Eropa. Terbitan mereka terutama buku-buku cerita dalam bahasa Melayu Tionghoa atau Melayu pasar dan karya-karya terjemahan dari Eropa ke dalam bahasa Melayu.

Dunia perbukuan dan penerbitan buku terus berkembang dengan kemunculan Komisi Bacaan Rakyat. Pada 1917 komisi itu berganti nama menjadi Balai Poestaka.

Lewat Balai Pustaka---ejaan yang dipakai kemudian--kesusastraan Indonesia berkembang pesat. Hingga saat ini banyak karya sastra tetap dicetak ulang, bahkan ada yang difilmkan. Bukan hanya karya sastra, Balai Pustaka juga mencetak buku-buku pelajaran dan buku-buku referensi.

Penerbit swasta pun mulai bermunculan. Sebelum Balai Pustaka, di Kediri muncul Boekhandel Tan Khoen Swie. Kemudian diikuti beberapa penerbit lain. 

Pada awalnya, mereka bermotif politis dan idealis. Mereka tergerak untuk mengambil alih dominasi para penerbit Belanda. Pada 1955, pemerintah Republik Indonesia mengambil alih dan menasionalisasi semua perusahaan Belanda di Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline