Beberapa hari lalu Pak Udaya Halim menelepon saya. "Nanti tanggal 15 dan 16 Juni saya bikin acara Peh Cun. Datang yah," katanya. Pak Udaya, begitu biasa dipanggil, saya kenal sebagai pemilik Museum Benteng Heritage di kawasan Pasar Lama Tangerang. Saat ini Pak Udaya menjabat Ketua Asosiasi Museum Indonesia Banten atau AMIDA Banten. Pak Udaya merupakan tokoh yang memiliki apresiasi kepada sejarah dan kebudayaan Tionghoa peranakan.
Peh Cun merupakan pesta rakyat Tangerang. Sebenarnya kegiatan ritual berlangsung 7 Juni lalu ditandai dengan makan bacang oleh masyarakat Tionghoa di mana pun berada. Namun karena masih dalam suasana Lebaran, pesta rakyat diundur 15 dan 16 Juni 2019. Pada 7 Juni 2019 itu terjadi peristiwa alam yang unik. Orang Tionghoa menyebutnya tuang yan, titik matahari dan bumi berada pada jarak terdekat. Ketika itu orang akan mampu mendirikan telur secara tegak lurus antara pukul 11.00 hingga 13.00.
Kejujuran dan kesetiaan
Pesta rakyat mengusung tema "Kejujuran dan kesetiaan tidak lekang oleh waktu". Jujur dan setia dipandang sifat asli cabe. Ada dua festival yang diselenggarakan, yakni Festival Perahu Naga dan Festival Cabe.
Festival perahu naga berlangsung di Sungai Cisadane. Maklum, peh cun bermakna 'mendayung perahu'. Selama dua hari itu akan berlangsung lomba perahu naga. Setiap regu terdiri atas belasan orang. Bagian depan ada komando dari seorang penabuh gendang. Kegiatan festival dibuka oleh Wakil Walikota Tangerang Pak Sachrudin.
Festival Cisadane, begitulah nama populernya, sudah terkenal sejak lama. Pada 1970-an sudah tercipta lagu gambang keromong tentang nonton peh cun di Kali Tangerang. Lilis Suryani, penyanyi kelas atas ketika itu yang menyanyikan lagu tersebut.
Menurut info yang saya peroleh, festival perahu naga di Tiongkok sudah berlangsung beratus tahun lalu. Tujuannya untuk berterima kasih kepada Sang Pencipta Alam Semesta akan kejujuran dan kesetiaan seorang menteri yang juga seorang pujangga bernama Kut Guan (Qu Yuan). Ia memilih menceburkan diri ke sungai daripada hidup bergelimang dosa mengkhianati negara dan membohongi rakyat. Kut Guan hidup tiga abad sebelum Masehi. Cerita tentang Peh Cun bisa diperoleh di Museum Benteng Heritage loh.
Rumah Burung
Dari stasiun Tangerang saya berjalan kaki lewat pasar lama. Jalan di depan wihara Boen Tek Bio sudah dihiasi balon berwarna-warni. Saya lihat berbagai stand kuliner ada di sana. Di bagian ujung berdiri sebuah panggung dan karpet merah. Nah, di situlah terdapat Roemboer Rumah Ronggeng.
Namanya unik Roemboer, namun dibacanya Rumbur atau Rumah Burung. Saat ini rumah terdiri atas tiga lantai. Sebelumnya dua lantai. Pak Udaya menambah satu lantai lagi di atasnya. Disebut rumah burung karena dulu pernah berfungsi sebagai rumah walet. Lalu oleh Pak Udaya dibeli dan direnovasi. Dari bagian belakang Roemboer kita bisa melihat Sungai Cisadane.
Di Roemboer diselenggarakan pameran dan demo kaligrafi. Boleh dibilang kaligrafi adalah tulisan bergambar dalam aksara Mandarin. Di Roemboer pula Pak Udaya menjamu para undangan dengan aneka makanan peranakan yang dibuat serba halal. Pengunjung non-undangan boleh menikmati hidangan ini dengan biaya Rp200.000 makan sepuasnya.