Lihat ke Halaman Asli

Djulianto Susantio

TERVERIFIKASI

Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Pembangunan MRT Harus Memiliki Studi Kelayakan Arkeologi

Diperbarui: 25 Maret 2019   07:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penumpang MRT dalam uji coba publik (Foto: alinea.id)


Akhirnya moda transportasi yang ditunggu-tunggu itu diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 24 Maret 2019. Mass Rapid Transportation atau MRT, yang kemudian disebut Moda Raya Terpadu, menjadi moda transportasi modern di Indonesia. Padahal, di beberapa negara Asia moda seperti itu telah ada lebih dulu. Bahkan bertahun-tahun sebelum Indonesia. Jadi sebagai negara besar di Asia, kita tertinggal lama dengan negara-negara yang lebih kecil.

MRT yang baru diresmikan itu disebut fase pertama mencakup rute Lebak Bulus--Bundaran Hotel Indonesia sepanjang 16 kilometer. Biaya pembangunan menghabiskan Rp16 triliun. Bersamaan dengan peresmian, dicanangkan pembangunan fase kedua rute Bundaran Hotel Indonesia-Kampung Bandan sepanjang 8,6 kilometer dengan biaya Rp22,5 triliun. Biaya kali ini lebih mahal karena memiliki tingkat kesulitan pembangunan lebih tinggi.

Sumber: republika.co.id

Uji coba

Sebelum peresmian, terlebih dulu dilakukan uji coba publik mulai 12 Maret 2019. Masyarakat sangat antusias menaiki kereta bawah tanah yang juga memiliki jalur di atas tanah. Mereka berbondong mendaftar lewat daring dan datang langsung.

Sejauh ini pemerintah provinsi DKI Jakarta belum menentukan tarif resmi MRT. Rapat dengan DPRD baru berlangsung pagi ini. Karena itu hingga akhir Maret 2019, masyarakat digratiskan.

Sebenarnya pembangunan MRT sudah disebut-sebut sejak 1980-an oleh Menteri Riset dan Teknologi ketika itu, B.J. Habibie. Namun karena kesulitan keuangan, baru dibicarakan lagi pada 2000-an. Setelah beberapa presiden dan beberapa gubernur, baru di era Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, beliau mengambil keputusan politik.

Diharapkan MRT menjadi transportasi publik yang aman, nyaman, dan tepat waktu. Kehadiran MRT bisa mengurangi kemacetan yang hampir selalu terjadi di Ibu Kota. Kemacetan yang menyebabkan masyarakat stres dan boros bahan bakar.

Pencanangan MRT fase kedua (Foto: suara.co.id)

Bus TransJakarta

Rencana pembangunan fase kedua memang sudah keputusan politik. Kalaupun saya disuruh memilih, saya lebih cenderung penambahan bus TransJakarta sekaligus memperbaiki kualitas jalan khusus moda transportasi itu. Terus terang, pembangunan MRT pasti akan menimbulkan kemacetan selama beberapa tahun. Saya pikir sebaiknya biaya Rp22,5 triliun itu dibelikan saja bus-bus baru.

Saya coba-coba telusuri internet, harga sebuah bus Rp2,5 miliar. Berarti dengan Rp1 triliun kita akan dapatkan 400 bus. Nah, dibelikan saja bus. Pemerintah provinsi tinggal membuat halte-halte TransJakarta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline