Kelompok Pemerhati Budaya dan Museum Indonesia (KPBMI) Sabtu, 9 Maret 2019 lalu mengadakan hajatan besar. Ada dua kegiatan yang dilaksanakan, yakni perayaan ulang tahun ke-2 dilanjutkan seminar tokoh permuseuman Moh. Amir Sutaarga.
Perayaan ulang tahun dihadiri sekitar 100 undangan, seperti komunitas, mahasiswa, guru, pramuka, museum-museum, dan pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan.
KPBMI merupakan sebuah komunitas yang berdiri pada 4 Maret 2017. Komunitas ini digawangi oleh para generasi milenial dari berbagai perguruan tinggi dan berbagai disiplin ilmu. KPBMI bergerak di bidang sejarah, purbakala, museum, dan budaya, yang disingkat sepurmudaya. Dalam perjalanannya, KPBMI telah menjadi mitra pemerintah, termasuk beberapa direktorat di lingkungan Kemdikbud dan museum-museum yang tergabung dalam Paramita Jaya.
Keroncong Tugu
Acara diawali sambutan singkat oleh Ketua KPBMI, Dhanu Wibowo. Saya sendiri menjadi penasihat KPBMI. Yah, biar anak-anak muda berperan. Selanjutnya Pak Safei, dari Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kemdikbud, memberikan pengantar tentang pentingnya komunitas buat museum. Pak Safei sebelumnya staf bidang kemitraan di Museum Nasional. Di Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Pak Safei duduk di seksi pengembangan museum. Jadi kloplah sambutan Pak Safei.
Acara santai diawali tari daerah Kalimantan oleh beberapa siswa SMA. Kebetulan mereka sesekali ikut kegiatan KPBMI. Upaya melestarikan kebudayaan tradisional memang menjadi perhatian KPBMI. Selanjutnya tampil keroncong Tugu. Disebut demikian karena merupakan kesenian khas masyarakat keturunan Portugis di kampung Tugu, Jakarta Utara.
Tokoh Amir Sutaarga
Setelah makan siang, dilangsungkan seminar tokoh permuseuman Moh. Amir Sutaarga. Generasi milenial umumnya tidak tahu siapa Pak Amir itu. Pak Nunus Supardi menjadi pembiacara pertama.
Menurut Pak Nunus, Pak Amir lahir di Rangkasbitung pada 5 Maret 1928. Satu hal yang ditekankan Pak Amir, kata Pak Nunus, Pak Amir mengatakan museum harus menjadi sebuah lembaga untuk memajukan peradaban bangsa.
Nama Amir mulai dikenal pada 1953 setelah ia menggantikan Hoesein Djajadiningrat di Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW). Pada 1962 BGKW diambil alih pemerintah dengan nama Lembaga Kebudayaan Indonesia, selanjutnya menjadi Museum Pusat.
Banyak pemikiran Pak Amir ketika itu, antara lain menambah jumlah museum dan mendirikan pendidikan museum. Pemikirannya itu beliau tuliskan dalam berbagai publikasi seperti Manusia Indonesia dan Museografi. Meskipun masih dalam bentuk stensil, kedua publikasi menjadi bahan rujukan sampai sekarang.