Mak Itam ada di kampus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), Depok. Biasanya Mak Itam ada di Sawahlunto. Ya, Mak Itam di kampus Depok hanyalah karya manusia masa kini untuk keperluan pameran. Bukan terbuat dari logam tapi dari bahan-bahan yang mudah dibentuk.
Nama Mak Itam sudah melegenda bagi dunia perkeretapian. Maka, Mak Itam menjadi maskot pameran di kampus FIB UI Depok itu. Pameran diselenggarakan pada 3-7 Desember 2018 untuk menyambut dies natalis FIB UI pada 4 Desember, sekaligus hari jadi Sawahlunto pada 1 Desember. Penyelenggaranya adalah FIB UI bekerja sama dengan Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman serta Komunitas Luar Kotak.
Mak Itam merupakan nama yang diberikan urang Minang untuk sebuah lokomotif uap berwarna hitam. Lokomotif tersebut dibuat pada 1865 di Esslingen, Jerman.
Kini diberi kode E 1060. Boleh dibilang lewat Mak Itam, sejarah Sawahlunto berawal dan berkembang, sebagaimana tema pameran, "Sawahlunto: Dulu, Kini dan Akan Datang".
Batu bara
Mak Itam seakan memandu kita untuk mengetahui lebih dalam tentang kota Sawahlunto. Kota di Sumatera Barat itu dikenal sebagai Kota Batu Bara. Tambang batu bara menjadi andalan pemerintah Hindia-Belanda kala itu.
Nama Sawahlunto sendiri berasal dari kata "sawah" dan "Sungai Lunto". Dulu merupakan lembah persawahan yang subur. Pada 1858 Ir. C. De Groot van Embden melakukan penelitian, yang kemudian dilanjutkan oleh Ir. Willem Hendrik de Greve pada 1867. Setahun kemudian de Greve menemukan kandungan batu bara di Sungai Ombilin.
Berawal dari penemuan itulah pemerintah Hindia-Belanda melanjutkan eksplorasi. Mulai dibangun pula berbagai infrastruktur tambang dan pendukungnya pada 1883 hingga 1894. Pada 1 Desember 1888, Sawahlunto dijadikan kota. Itulah dasar hari jadi kota Sawahlunto.
Aktivitas pertambangan dimulai pada 1892 dengan produksi batu bara sebanyak 48.000 ton. Sumber kehidupan Sawahlunto berhenti beroperasi pada 1998. Sejak itu Sawahlunto berubah drastis seperti kota lumpuh. Nah, itulah informasi yang kita dapatkan dari beberapa panel pameran.
Orang rantai
Cerita tentang orang rantai juga digambarkan dalam pameran. Dulu, untuk mendukung aktivitas pertambangan di Sawahlunto, pemerintah Hindia-Belanda menggunakan para narapidana sebagai tenaga kerja.
Mereka diambil dari penjara-penjara di Pulau Jawa, Sulawesi, dan Medan. Para narapidana itu diangkut dengan kapal laut dari Pelabuhan Tanjung Perak (Surabaya) ke Pelabuhan Emmahaven, sekarang Teluk Bayur, di Padang.
Itulah dampak positif dari industri tambang di Sawahlunto. Pelabuhan Emmahaven dibangun antara 1888-1893. Dari Emmahaven, para narapidana itu diangkut dengan kereta api ke Sawahlunto atau pusat aktivitas pertambangan Sawahlunto.