Akhirnya kesampaian juga menuju Tanjungpinang, ibu kota Kepulauan Riau (Kepri). Dari bandara, saya dan dua teman langsung menuju satu-satunya museum yang ada di sana. Jarak dari bandara ke museum sekitar 12 kilometer.
Museum Kota Tanjungpinang, begitulah museum itu dikenal. Untuk mengenang seorang tokoh, kemudian museum itu diberi nama Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah. Jadi nama lengkapnya Museum Kota Tanjungpinang Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah. Museum itu beralamat Jalan Ketapang Nomor 2, Tanjungpinang.
Bekas sekolah
Museum menempati gedung bekas sekolah. Sekarang bangunan itu menjadi cagar budaya yang tentu saja mendapat perlakuan khusus. Menurut informasi, bangunan itu sudah ada sejak 1918. Dulu digunakan sebagai sekolah Melayu berbahasa Belanda bernama Holland-Inlandsche School. Saat pemerintahan Jepang, nama gedung itu diganti menjadi Futsuko Gakko 1 selama 2,5 tahun. Pada zaman kemerdekaan, gedung itu dijadikan Sekolah Rakyat dan Sekolah Dasar hingga 2004. Mulai 31 Januari 2009, gedung itu diresmikan menjadi museum.
Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah merupakan nama salah satu tokoh penting dalam Sejarah Melayu. Beliau pernah memerintah Kerajaan Riau-Johor-Pahang-Lingga pada 1722-1760. Diharapkan museum menjadi pusat sejarah budaya Melayu, sesuai dengan kebesaran Sultan.
Ragam koleksi
Koleksi museum amat beragam. Terbagi atas pengelompokan jenis koleksi, yakni etnografika, numismatika/heraldika, filologika, keramologika, historika, dan teknologika. Ruang pertama yang bisa dimasuki berisi koleksi numismatik atau mata uang. Di dalam lemari pengunjung bisa melihat uang petik, bentuknya seperti lembaran daun kecil. Jika ingin dipakai uang itu harus dipatahkan dari tangkainya, istilahnya dipetik. Ada uang topi, berbentuk segiempat dan bagian atasnya menonjol. Kalau dilihat sepintas berbentuk seperti topi. Ada lagi uang ikan, bentuknya seperti ikan. Ketiga jenis uang itu merupakan uang lokal pada masa Kerajaan Melayu di Kota Lama Hulu Riau.
Sebenarnya di Riau pernah beredar koin bernominal 1, 5, 10, 25, dan 50 sen. Sayang koleksi museum tidak lengkap. Museum hanya punya nominal 10 sen. Dulu pernah beredar juga uang kertas Riau nominal 1, 2 , 5, 10, dan 100 rupiah. Kalau tidak salah antara 1960-1962 mata-mata uang itu beredar di Riau dan sekitarnya untuk mengatasi mata uang dollar Malaya yang lebih dominan. Harusnya museum punya koleksi-koleksi demikian.
Cogan
Melangkah lagi ke dalam museum, masih banyak koleksi seni dan budaya. Ada berbagai jenis perhiasan emas. Beragam jenis keramik asing hasil pengumpulan dari Tanjung Pinang dan sekitarnya, terpajang di dalam museum. Koleksi lain berupa peralatan sehari-hari dan karya ukiran yang dibuat oleh etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa dan etnis Melayu memang banyak bermukim di Tanjungpinang sejak lama.
Museum banyak menyimpan koleksi arsip dan naskah. Tentu saja ada juga naskah Gurindam 12 karangan Ali Haji. Gurindam 12 sudah terkenal ke mana-mana. Pada lemari lain, pengunjung bisa melihat berbagai alat permainan tradisional, termasuk bola sepak takraw. Permainan sepak takraw atau sepak raga amat dikenal di Riau. Yang juga menarik, alat isap candu. Bentuknya panjang. Dulu candu menjadi komoditi yang amat menguntungkan.