Pada 1962 Indonesia pernah menjadi tuan rumah perhelatan olahraga se-Asia, Asian Games IV. Ketika itu yang menjadi presiden adalah Sukarno. Berkat Asian Games IV berdiri Stadion Utama Senayan, Hotel Indonesia, Jembatan Semanggi, TVRI, dan lainnya. Dalam Asian Games IV, Indonesia mencapai prestasi terbaik di bawah Jepang.
Itulah pencapaian tertinggi Indonesia di dunia olahraga multicabang. Kini nama Stadion Utama Senayan berubah menjadi Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK). Halte bis TransJakarta di kawasan itu juga dinamakan Halte GBK.
Di bawah Presiden Joko Widodo, tepatnya 56 tahun kemudian, pada 2018 ini Indonesia kembali dipercaya menjadi tuan rumah Asian Games. Kita harapkan duta-duta olahraga Indonesia semakin berprestasi. Ini mengingat Indonesia yang pernah merajai SEA Games, justru dalam beberapa tahun terakhir semakin terpuruk.
Sejak beberapa tahun lalu, berbagai infrastruktur dibangun dan berbagai fasilitas diperbaiki dengan model kekinian. Kiprah kedua presiden, Sukarno dan Joko Widodo, bisa disaksikan dalam pameran bertajuk "Dua Presiden RI Tuan Rumah Asian Games 1962 & 2018" di Museum Kepresidenan Balai Kirti, Bogor.
Pameran itu dibuka oleh Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid, pada 20 Mei 2018.
Kebangkitan Nasional
Menurut Kepala Museum Kepresidenan, Amurwani Dwi Lestariningsih, pameran sengaja dibuka pada 20 Mei karena bertepatan dengan momen Hari Kebangkitan Nasional. Momen lain adalah Hari Museum Internasional setiap 18 Mei sekaligus kegiatan Balai Kirti's Day.
Pameran ini akan berlangsung hingga 31 Agustus 2018. Namun Balai Kirti's Day akan berakhir pada 20 Oktober 2018, juga dikaitkan dengan momen Hari Museum Indonesia setiap 12 Oktober.
Kurator pameran, Yuke Ardhiati, mengatakan peran Sukarno dalam perhelatan itu amat besar. Gagasan pembangunan stadion utama, beliau ambil dari Uni Soviet ketika itu. Filosofi bangunan beliau adopsi dari kisah Jawa Kuno, Ramayana dan Baratayudha.
Dalam Ramayana memang dikisahkan tokoh Sri Rama yang jago memanah. Patung berwujud Sri Rama yang sedang merentangkan busur panah menjadi ikon SUGBK dalam menyambut para pengunjung.
Pameran menampilkan arsip, artefak, dan pendukung lain. Kita bisa melihat maket SUGBK dalam bentuk "generasi zaman old" dan "generasi zaman now". Sebagai bangunan cagar budaya, tentu saja "Sang Monumen"---begitu Yuke menyebut---telah mengalami perubahan. Misalnya saja penambahan ramp untuk kursi roda, pencahayaan, dan tempat duduk.