Minggu malam sejumlah anggota komunitas mem-posting foto di jejaring sosial Facebook. Foto itu memperlihatkan sebuah prasasti batu yang diapit dua pohon. Tampak dua orang sedang membersihkan prasasti dengan air yang dikucurkan dari botol air mineral. Yang satu coba membaca. Tapi karena waktu sudah sore, pembacaan mengalami kendala.
Prasasti Kedungsingkil, demikian namanya. Terbuat dari batu dan berukuran cukup tinggi. Sejak awal prasasti tersebut berada di lokasi. Tidak pernah dipindahkan karena berat. Sekarang berada di pekarangan warga dan diapit dua pohon. Bisa saja terjadi, akar-akar pohon itu akan merebahkan prasasti.
Karena terletak di alam terbuka, kondisi prasasti sangat mengkhawatirkan. Banyak aksara sudah sangat tipis bahkan tidak bisa dibaca lagi. Jelas perlu dibuatkan gubuk atau apa pun namanya agar prasasti tersebut terlindung dari panas, hujan, dan angin. Juga dari tangan-tangan manusia yang ingin memegang prasasti.
Prasasti Kedungsingkil terletak di Dusun Kedungsingkil, Desa Karangrejo, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Saat ini hanya beberapa aksara yang terbaca.
Kunjungan situs
Minggu sore itu beberapa anggota komunitas Asta Gayatri sehabis mengikuti pembelajaran aksara Jawa Kuno di Gua Selomangleng melakukan kunjungan situs. Lokasi Prasasti Kedungsingkil memang tidak jauh dari Gua Selomangleng. Kunjungan situs dipimpin oleh Aang Pambudi Nugroho yang menjadi inisiator pembelajaran aksara Jawa Kuno.
Widjatmiko, yang senang blusukan, juga pernah mengunjungi prasasti itu. Sejak kunjungan Miko pada 2014, kondisi prasasti itu masih tetap sama. Miko bercerita, ia pernah mendengar prasasti itu mau diboyong ke Museum Wajakensis di Tulungagung. Namun anak pemilik lahan tidak memberi izin. "Kalau tidak boleh dibawa, seharusnya ia merawat atau membuatkan cungkup," kata Miko.
Jelas sungguh merana nasib Prasasti Kedungsingkil. Berada di belakang pekarangan warga dan bersebelahan dengan kandang sapi. Dikhawatirkan kalau tidak segera diselamatkan, aksara prasasti lama-kelamaan akan hilang karena terkikis air hujan. Atau mungkin dimakan jamur dan lumut.
Kita harapkan pemerintah setempat segera memberikan perhatian agar sepenggal kisah yang ada di prasasti itu tidak hilang. Apalagi di sekitar prasasti terdapat beberapa kekunoan berupa umpak, bata, dan lumpang. Semuanya juga berada di pekarangan warga.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H