Banyak orang awam menganggap pekerjaan arkeologi itu glamor. Ada juga yang bilang enak jalan-jalan mulu. Memang masuk akal kalau dikatakan glamor. Selama ini pemberitaan media hanya mencakup benda-benda temuan yang fantastik, unik, langka, dan tergolong luar biasa. Padahal sesungguhnya di mata arkeolog, semua data---baik berupa benda utuh maupun benda pecahan---tetap mengandung informasi untuk menguak masa lampau.
Pekerjaan yang khas dalam arkeologi adalah ekskavasi atau penggalian. Ekskavasi merupakan pekerjaan di lapangan. Sebelum ekskavasi terlebih dulu dilakukan survei. Selain di lapangan, arkeolog juga bekerja di kantor, antara lain untuk memasukkan data, menganalisis, dan menulis.
Seluruh kegiatan arkeologi bermuara untuk memberi informasi kepada publik. Memeras keterangan setuntas-tuntasnya dari setiap benda temuan itu. Informasi yang diberikan berupa tercetak dan terekam. Informasi tercetak berupa tulisan ilmiah dan tulisan populer, antara lain dalam jurnal ilmiah, majalah ilmiah, majalah populer, surat kabar, brosur, dan katalog.
Sementara informasi terekam berupa film dokumenter. Benda-benda temuannya disimpan di dalam museum, untuk benda-benda berukuran kecil atau benda bergerak. Sebaliknya dibiarkan di lokasi dalam bentuk taman purbakala atau museum lapangan untuk benda-benda berukuran besar atau benda tak bergerak.
Informasi dari masyarakat
Arkeolog bekerja berdasarkan hipotesis, sumber-sumber tertulis, atau informasi dari masyarakat. Seperti yang dialami sejumlah arkeolog pada 1989 tentang adanya sebuah prasasti di atas sebuah bukit. Segera saja sejumlah dosen Jurusan Arkeologi UI bergerak ke daerah Bogor. Saya ikut di dalamnya sebagai tim peliput.
Setelah numpang parkir mobil di pekarangan warga, kami lanjut berjalan kaki mendaki bukit. Jalan tanah tampak tidak mulus, apalagi ada tanda-tanda bekas hujan semalam. Licin dan becek. Hanya rasa penasaran kami yang mengalahkan kendala itu. Sekitar dua jam berjuang, kami berhasil menemukan prasasti. Lokasinya berada di areal milik PT Perkebunan.
Ternyata setelah diamati lebih lanjut, prasasti tersebut bukan prasasti baru. Namanya Prasasti Pasir Koleangkak atau Prasasti Jambu. Prasasti itu terletak di bukit Koleangkak di antara pohon-pohon jambu. Makanya kedua nama menjadi populer. Prasasti tersebut berkenaan dengan Kerajaan Tarumanagara. "Dulu saya berkunjung ke lokasi ini lewat jalur Sukabumi," begitu kata Ayatrohaedi. Anggota tim lain adalah Hasan Djafar, Edhie Wuryantoro, Agus Aris Munandar, Mahanizar Djohan, dan saya. Kami kecele. Uraian tentang Prasasti Koleangkak sebelumnya sudah ditulis oleh sarjana Belanda.
Begitulah kerja tanpa hasil. Kami pun hanya sempat foto-foto dan melakukan pengukuran ulang. Hanya bedanya dengan kondisi sekarang, dulu prasasti itu hanya dikelilingi pagar bambu. Demi pengamanan dari cuaca, sekarang sudah diberi cungkup. Turun dari bukit kami berjuang lagi. Masih licin dan becek.
Harta karun
Lain lagi pengalaman seorang rekan, Nurhadi Rangkuti. Ketika itu ia menjadi peneliti di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Sekitar 1990 ia melakukan ekskavasi di situs Lorongjambu, Palembang. Situs Lorongjambu merupakan situs permukiman masa Kerajaan Sriwijaya.