Lihat ke Halaman Asli

Djulianto Susantio

TERVERIFIKASI

Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Perabotan Gedung Kesenian Jakarta yang Hilang Perlu Dilacak

Diperbarui: 27 Mei 2017   13:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gedung Kesenian Jakarta, masih ada patung (Foto: media-kitlv.nl)

Jakarta merupakan kota di Indonesia yang pernah mengalami perjalanan sejarah panjang. Hal ini antara lain dibuktikan dengan masih terlestarikannya sejumlah bangunan masa lampau, meskipun lebih banyak bangunan yang dihancurkan dengan dalih demi pembangunan. Umpamanya saja Hotel des Indes yang telah berganti rupa menjadi Duta Merlin di bilangan Jalan Gajah Mada dan Hotel der Nederlanden yang menjadi Gedung Bina Graha di bilangan Jalan Veteran.

Sebagai kota yang berperan besar dalam sejarah, sudah tentu Jakarta banyak didatangi warga asing dari Eropa dan Asia, utamanya Belanda dan Tiongkok. Jangan heran kalau keberadaan mereka sangat berpengaruh pada bangunan-bangunan yang ditinggalkan.

Masih berfungsi

Sampai kini memang masih terlihat banyak bangunan kuno masa penjajahan tetap berdiri megah. Jadi bukan hanya dokumen tertulis atau gambar yang bisa diwariskan kepada anak cucu, melainkan peninggalan aslinya. Hal seperti inilah yang seharusnya terjadi, sebagai harmonisasi dari kisah sejarah dan bukti otentik warisan sejarah.

Meskipun pembangunan fisik di Jakarta tergolong sangat pesat—yang  berdampak pada perusakan, perobohan, dan penghilangan paksa bangunan kuno bersejarah, termasuk situs arkeologi—sejumlah bangunan kuno berhasil diselamatkan dari kehancuran. Salah satunya adalah Gedung Kesenian Jakarta (GKJ). Bangunan yang terletak di kawasan Pasar Baru ini sampai sekarang masih berfungsi. Dulu, upaya pelestariannya ditangani sungguh-sungguh lewat pemugaran pada 1986-1988.

Menurut sejarahnya, pada zaman kolonial GKJ bernama Schouwburg. Namun masyarakat waktu itu menyebutnya Gedung Komidi. Sebelum dipugar, gedung ini pernah disewakan kepada pihak swasta untuk dijadikan gedung bioskop bernama City Theater. Selama bertahun-tahun City Theatermenjadi tempat hiburan papan atas masyarakat Jakarta yang menggemari film-film Mandarin. Sayang, setelah masuknya jaringan 21, nama City Theater memudar perlahan-lahan.

Pendirian gedung kesenian di Batavia ketika itu, tidak terlepas dari peran Raffles,  Gubernur Jendral Inggris di Hindia Belanda yang dikenal menyenangi bidang kebudayaan. Dia berkuasa di Tanah Jawa pada 1811-1816. Gagasan pendirian Schouwburg bermula dari ulah iseng para tentara Inggris.

Konon, untuk membunuh waktu di kala senggang, mereka membuat gedung pertunjukan yang amat sederhana. Bangunan tersebut hanya berbahan bambu dan rumbia. Di tempat itu mereka kerap mementaskan drama untuk menghibur kolega-kolega mereka sendiri. Karena itu, pada awalnya gedung tersebut disebut Militaire Theatre.

Sepeninggal Inggris, gedung itu dimanfaatkan Belanda. Pengelolaannya diserahkan kepada sebuah perkumpulan Ut Desint. Perkumpulan itu juga yang memrakarsai usaha pembangunan gedung baru yang permanen, pengganti gedung lama yang mulai reyot dan rapuh.

Ternyata, prakarsa tersebut mendapat sambutan baik dari segenap warga Batavia kelas atas yang haus hiburan. Alasannya sederhana saja, waktu itu tempat hiburan sangat langka. Selain Societeit de Harmonie, yang sekarang sudah dirobohkan untuk perluasan lahan parkir Gedung Sekretariat Negara, memang tak ada sarana lain untuk bersantai dan menghibur diri.

Gaya Yunani Baru

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline